BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Laman

Sabtu, 02 Juni 2012

Limit dalam al-Qur’an Perspektif Dr. Ir Muhammad Syahrur

Muhammad Syahrur adalah salah satu dari sekian banyak mujaddid. Ia seorang yang berkebangsaan Syiria; terlahir pada 11 Maret 1938. Disebut  sebagai mujaddid karena tokoh ini menawarkan beberapa konsep yang sedikit banyak memiliki perbedaan dengan konsep pendahulunya. Dalam karya fenomenalnya Ia mengkritik keberadaan yang melingkupi dan terjadi di sekitarnya, umumnya di dunia Islam. Ia mengatakan:” Dalam pengamatan Saya, ternyata dalam tradisi Islam hanya melakukan Qira’ah Mutakarrirah (pembacaan yang berulang-ulanng) kepada al-Quran, yang berending pada jumud dan taklid kepada pendahulunya saja”.
Apa yang diungkapkan Syahrur ada benarnya, karena selama ini dalam tradisi Islam khususnya belum mampu mengetengahkan sebuah pembacaan dan penafsiran yang kontekstual apalagi kontemporer. Di sana sini masih banyak phobia untuk melakukan ijtihad yang menghinggapi mayoritas umat Islam. Phobia ini dikarenakan sakralnya fatwa dan pendapat ulama abad ke-11 yang mengklaim bahwa “pintu ijtihad telah ditutup”. Dalam kritiknya Musfir Azmullah mengatakan:”Orang yang mengatakan hal itu perlu dicurigai, jangan-jangann ditutupnya pintu ijtihad dikarenakan Ia tidak mampu berbuat banyak dalam penggalian hukum untuk permasalahan tertentu”. Bila mau jujur fatwa tersebut juga diutarakan oleh seorang atau sekelompok orang yang profane bahkan “perlu dicurigai” karena adanya faktor subjektifitas yang melatar belakanginya.
Karena hal inilah Syahrur ingin membongkar klaim yang telah mapan dan telah menjadikan phobia di kalangan umat Islam. Ia ingin membaca al-Qura’an dengan pembacaan yang sama sekali berbeda sehingga dapat dijadikan foot note dan refrensi dalam menjawab pertanyaan kekinian. Dari sekian konsep yang ditawarkannya ada sebuah konsep yang nyentrik, yang lazimnya disebut dengan “nadzariyah al-hudud” atau teori limit. Kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari background intelektualnya sebagai seorang Insinyur teknik (al-Handasah al-Madiyah) jebolan Universitas di Dublin Irlandia. Secara singkat teori ini didefinisikan sebagai sebuah teori yang mengatakan bahwa Allah dalam al-Quran menetapkan ruang ijtihad (ruang gerak) kepada hamba-Nya, yang pada sisi lain ruang gerak ini juga memiliki batas-batas (hudud) yang tidak boleh dilanggar. Aturan main dalam teori ini sama dengan permainan sepak bola. Pemain bebas menggiring ke semua arah asalakan tidak keluar dan melewati dari hudud al-murabba’ (batas empat penjuru) lapangan. Jika melebihi maka secara otomatis akan terkena sanksi atau dosa.
Syahrur mendasarkan konsepnya dalam menyusun teori batas pada Alqur’an surat al-Nisa’ ayat 13-14. Syahrur mencermati penggalan ayat ”tilka hudud Allaah” yang menegaskan bahwa pihak yang memiliki otoritas untuk menetapkan batasan-batasan hukum (haqq at-tasyri’) hanyalah Allah semata. Sedangkan Muhammad Saw, meskipun beridentitas sebagai Nabi dan Rasul, pada hakekatnya otoritas yang dimiliki Muhammad tidak penuh dan Ia sebagai pelopor ijtihad dalam Islam. Hukum yang ditetapkan Nabi lebih bersifat temporal-kondisional sesuai dengan derajat pemahaman, kemampuan penalaran masyarakat, dan peradaban masyarakat pada waktu itu, artinya ketetapan hukum tersebut tidak bersifat mengikat hingga akhir zaman. Maka, di sinilah kita mempunyai ruang untuk melihat al-Qur’an dan berijtihad dengan situasi dan kondisi yang dilatar belakangi ilmu pengetahuan pada masa sekarang.
Syahrur berargumen dengan dalil fisikanya bahwa tidak ada benda yang gerakkannya dalam bentuk garis lurus. Seluruh benda sejak dari elektron yang paling kecil hingga galaksi yang terbesar bergerak secara hanifiyyah (tidak lurus). Oleh karena itu ketika manusia dapat mengusung sifat seperti ini maka Ia akan dapat hidup harmonis dengan alam semesta. Demikian halnya kandungan hanifiyyah dalam hukum Islam yang cenderung selalu mengikuti kebutuhan sebagian anggota masyarakat dengan penyesuaian dengan tradisi masyarakat. Untuk mengontrol perubahan-perubahan ini maka adanya sebuah garis lurus istiqamah menjadi keharusan untuk mempertahankan aturan-aturan hukum yang dalam konteks inilah teori batas diformulasikan. Garis lurus bukanlah sifat alam ia lebih merupakan karunia Tuhan agar ada bersama-sama dengan hanifiyah untuk mengatur masyarakat. Dalam bentuk matematisnya, Syahrur menggambarkan hubungan antara al-hanafiyyah dan al-istiqamah dengan sebuah kurva dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks.
Sumbu X menggambarkan zaman atau konteks waktu sejarah, sedangkan sumbu Y sebagai undang-undang yang ditetapkan oleh Allah Swt. Kurva ini menggambarkan dinamika ijtihad manusia bergerak sejalan dengan sumbu X yang dibatasi dengan hukum yang telah ditentukan oleh Allah pada sumbu Y. Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum, Syahrur menyimpulkan adanya enam bentuk dalam teori batas yang dapat digambarkan dalam bentuk matematis dengan perincian sebagai berikut:
  1. Al-hadd al-Adna (posisi batas minimal). Daerah hasilnya berbentuk kurva tebuka yang memiliki satu titik batas minimum. Titik ini terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu X. Dalam batas minimum ini Syahrur mencontohkan pada pelarangan dalam al-Qur’an untuk mengawini para perempuan yang disebutkan pada surat an-Nisa: 22: ”…dalam kondisi apapun tidak boleh melanggar batasan ini meskipun telah melakukan proses ijtihad”. Contoh batasan ini terdapat dalam surat an-Nisak: 23: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);… Dalam kondisi apapun tidak seorang pun yang diperbolehkan menikahi mereka yang dilarang dalam ayat ini, meskipun didasarkan pada ijtihad.
  2. Al-had al-A’la (posisi batas maksimal). Daerah hasil (range) dari persamaan fungsi y(Y)=f (x) berbentuk kurva tertutup yang hanya memiliki satu titik batas maksimum. Titik ini terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu X. Untuk kasus ini dapat kita lihat pada QS. Al-Maidah: 38 mengenai pencuri. Baik laki-laki maupun perempuan maka potonglah tangan mereka. Potong tangan disini adalah hukuman maksimum. Karena itu hukuman untuk pencuri tidak mesti potong tangan tetapi tergantung pada kualitas barang yang dicuri dan kondisi saat itu.
  3. Halah al-haddayn al-a’la wa al-adna ma’an (posisi batas maksimal bersamaan dengan batas minimal). Daerah hasilnya berupa kurva tertutup dan terbuka yang masing-masing mamiliki titik balik maksimum dan minimum. Kedua titik balik trsebut terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu x. Diantara kedua kurva ini terdapat titik singgung (nuqtah al-ini’taf) yang tepat berada diantara keduanya.  Posisi ini juga disebut dengan halah al-mustaqim atau halah at-tasyri’ al-ayni (posisi penetapan hukum secara mutlak). Batasan ini berlaku pada pemabagian harta warisan. Dalam al-Qur’an dapat diperhatikan dalam QS. an-Nisa’ ayat 11.
  4. Halah al-mustaqim (posisi lurus tanpa alternatif). Daerah hasilnya berupa garis lurus sejajar dengan sumbu x. Karena berbentuk garis lurus, posisi ini meletakkan titik alik maksimum berimpit dengan titik balik minimum. Ketentuan ini hanya terdapat satu kasus dalam al-Qur’an pada surat an-Nur mengenai kasus penzinaan. Bagi penzina laki-laki maupun perempuan maka deralah mereka 100 kali dengan tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Keberadaan had al-mustaqim ini dikarenakan adanya redaksi  “Dan janganlah kamu mengasihi mereka berdua dalam menegakkan aturan Allah” (wa la ta’khudz bihima ra’fatan fi din Allah). Redaksi inilah yang berperan sebagai qarinah untuk tidak dikurangi atau dilebihkan
  5. Al-hadd al-a’la li hadd al-muqarib duna al-mamas bi al-hadd abadan (posisi batas maksimal cenderung mendekat tanpa bersentuhan). Daerah hasilnya berupa kurva terbuka yang terbentuk dari titik pangkal yang hampir berhimpit dengan sumbu x dan titik final yang hampir berhimpit dengan sumbu y. Secara matematis, titik final hanya benar-benar berhimpit dengan sumbu y pada daerah tak terhingga (’ala la nihayah). Posisi ini diterapkan dalam batasan hubungan fisik antara laki-laki dan perempuan. Hubungan fisik terjadi antara manusia berlawanan jenis ini bermula dari batasan terendah, berupa hubungan tanpa persentuhan sama sekali antara keduanya dan berakhir pada batasan paling tinggi, berupa tindakan yang menjurus pada hubungan kelamin yang disebut zina. Ketika seseorang masih berada pada tahap melakukan tindakan yang menjurus ke zina tetapi belum sampai pada zina itu maka ia belum terjerumus pada batasan maksimum hubungan fisik yang ditetapkan Allah. Sebelum mereka melakukan zina maka hukuman had untuk pezina sebagaimna yang dinarasikan Tuhan tidak dapat dilaksanakan kecuali hukuman khalwat.
  6. Al-hadd al-a’la mujaban wa al-hadd al-adna saliban (posisi batas maksimal positif dan batas minimal negatif). Daerah hasilnya berupa kurva gelombang dengan titik balik maksimum yang berada di daerah positif (kedua variabel x dan y, bernilai positif) dan titik balik minimum berada di daerah negatif (variabel y bernilai negatif). Kedua titik ini terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu x. Teori batas keenam inilah yang kita pakai dalam menganalisis transaksi keuangan. Batas tertinggi dalam peminjaman uang dinamakan dengan pajak bunga dan batas terendah dalam pemberian adalah zakat. Garis tengah yang berada antara wilayah positif (+) dan negative (-) adalah titik nol (batas netral). Pemberian pada wilayah nol ini adalah peminjaman bebas bunga (qardh hasan). Wilayah ijitihad manusia, menurut Syahrur berada di antara batas minimum dan maksimum itu tadi.
Demikian nyentriknya teori limit yang diutarakan M. Syahrur. Tentu saja se-nyentrik apapun sebuah teori diungkapkan pasti tidak lepas dari dua kemungkinan. Adanya apresiasi sekaligus pejorasi merupakan dua hal yang diibaratkan dua mata uang yang tidak terpisahkan. Artinya kedua hal di atas sangat mungkin bagi sebuah pemikiran yang diungkapkan seseorang. Syahrur pun juga mengalami hal yang serupa, pihak yang mengapresiasi karyanya mengungkapkan pujiannya dengan membagi-bagikan karya Syahrur inii secara gratis sebagaimana yang dilakukan oleh Sultan Qaboos di Oman kepada menteri-menterinya. Di kubu yang lain tidak kurang dari sepuluh buku ditulis para pakar dalam rangka mengkonter dari pemikiran yang nyentrik ini. Berikut ini buku-buku pengkonter pemikiran Syahrur:
  1. Al-Hadtsiun al-Arab fi al-Uqud al-Tsalasati al-Akhirah wa al-Qur’an al-Karim karya Jailani Miftah.
  2. Al-Qira’ah al-Mu’ashirah fi al-Mizan karya Ahmad Imran, Tahafut al-Dirasah al-Mu’ashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama’ karya Mahami Munir Muhammad Thahir al-Syawwafi.
  3. Al-Furqan wa al-Quran (Qira’ah Islamiyyah Mu’ashirah Dhimni al-Tsawab al-Ilmiyyah wa al-Dhawabidh al-Manhajiyyah) karya Khalid Abdurrahman al-‘Aki.
  4. Naqd Lughawi li al-Kitab wa al-Quran karya Yusuf al-Shaidawi, al-Quran wa Auham al-Qira’ah al-Mu’ashirah karya Jawwad al-Basyir.
  5. Qira’ah Ilmiyyah li al-Qira’ah al-Mu’ashirah karya Syauqi Abu Khalil.
  6. Al-Isykaliyyat al-Manhajiyyah fi al-Kitab wa al-Quran karya Mahir al-Munjid.
  7. Ila Dzalika al-Rajul karya Muhammad Sa’id al-Thaba’i.
  8. Al-Rad ala al-Duktur al-Syahrur fi Masalah Libas al-Mar’ah karya Muhammad Haitam Islambuli.
  9. Al-Sunnah Wahyu min Allah au Ijtihad karya Munir al-Syawaf.
  10. Taqwim Ilmi li Kitab al-Kitab wa al-Quran karya Muhammad Furais Munfaikhi,
  11. Mughalathah al-Mu’ashirah fi al-Rad ala Kitab Dirasah Diniyyah Mu’ashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama’ karya Makmun al-Juwaijati.
  12. Li Asas al-Khasir li al-Qira’ah al-Mu’ashirah karya Makmun al-Juwaijati.
  13. Al-Rad al-Qur’ani ala Auham duktur Muhammad Syahrur fi Kitabih al-Islam wa al-Iman karya Muhammad Syaikhani.
Disarikan dari:
1.    Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Quran (Damaskus: al-Ahali, 1990)

0 komentar: