BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Laman

Senin, 11 Juni 2012

Ajaran-ajaran Siti Jenar

Siti Jenar adalah salah satu dari sekian tokoh sufi yang secara epistemologis ikut kepada pendahulunya. Fahamnya yang akrab diungkapkan dengan “manunggaling kawula gusti” sering dialamatkan kepada al-Hallaj, padahal bila dirunut faham tersebut bernama wihdah al-wujud. Faham ini semestinya dialamatkan kepada Ibnu Arabi, namun dalam kenyataannya Siti Jenar sering dianggap dan dikatakan sebagai al-Hallaj al-Jawi. Padahal secara ontologis dan epistemologis alamat ini jelas tidak tepat. Terlepas dari hal itu, berikut ini pandangan beberapa hal dalam faham yang dikembangkannya.

1.  Konsep Ketuhanan
Tuhan menurut Siti Jenar dianggap sebagai suatu yang wujud tapi tidak nampak.  Memiliki dua puluh sifat yang apabila disatukan menjadi satu wujud mutlak yang disebut “dzat”. Tuhan berada di dalam sekaligus di luar diri manusia sendiri, hanya saja manusia tidak menyadarinya. Keberadaan manusia pada hakikatnya berasal dari Tuhan (inna lillah wa inna ilaihi raji’un). Manusia adalah gambaran Tuhan yang Maha Gaib sekaligus pencipta alam semesta. Dalam ajaran Jenar, keberadaan Tuhan tetap niscaya, begitu pula kebersatuannya dengan hamba (jawa: kawula). Sejak kebersatuan itu, eksistensi kawula menjadi manunggal dengan eksistensi Tuhan, yang berefek kepada pola perilaku dan ritualnya. Faham seperti inilah yang disebut dengan wihdat al-wujud khas ala Siti Jenar. Artinya faham yang mengatakan bahwa antara Tuhan dan manusia adalah satu kesatuan dalam eksistensinya.
Dalam tataran praktis Siti Jenar mengajarkan bahwa hidup di dunia sekarang ini tidak lebih sebagai kematian. Konsekwensi paling logis dari ajaran ini terbebasnya manusia selama masih hidup di dunia ini (alam kematian) dari ikatan dan tuntutan untuk melaksanakan aturan, baik yang bersifat syar’i atau aturan hukum lain yang bersifat keduniawian. Sebaliknya, kematian justru dipandangnya sebagai awal kehidupan yang abadi. Pandangan seperti ini didasarkan kepada pengertian bahwa kehidupan masih dihinggapi dan dilekati jiwa yang bersifat baru yang pada akhirnya nanti akan rusak dan bersifat kotor. Sifat rusak dan kekotoran jiwa itulah yang menjadi penghalang bersatunya manusia dengan Tuhan. Menurutnya juga, di dalam dunia ini juga terdapat surga dan neraka yang tidak dapat ditolak manusia. Pada akhirnya, orang dikatakan masuk surga apabila di dunia ini (yang merupakan kematian) dia mendapatkan kesenangan dan sebaliknya. 
Berbeda dengan jiwa, Syekh Siti Jenar memandang badan wadag atau raga dan jasmani manusia seluruhnya akan rusak dan hancur mejadi tanah. Badan jasmani inilah yang kelak dibawa kembali untuk menjalani hidup abadi sesudah kematian duniawi. Badan wadag ini justru dianggap menjadi pengungkung roh atau jiwa dan dianggap sebagai beban yang memberatkan serta menyakitkan bagi roh. Hal ini dikarenakan dengan kematian manusia terbebas dari segala derita dan dengan mati pula jiwanya akan menyatu dengan Tuhannya.
Siti Jenar menganggap dirinya inkarnasi dari dzat yang luhur. Dia   menganggap budinya sejiwa dengan Tuhan. Itu sebabnya ketika syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji tidak diinginkan maka itu tidak perlu dilakukan. Menurut Siti Jenar, pada waktu seseorang mengerjakan shalat, budinya bisa mencuri atau bahkan mengharapkan kepada selain Allah. Inilah yang menurutnya yang membedakan dirinya dengan manusia pada umumnya. Ia telah menjadi Tuhan yang Maha Suci yang tidak dapat dipikirkan.

2.  Konsep Khalifah fil al-Ardl
Konsep ini merupakan pengembangan dari konsep wihdah al-wujud. Doktrin yang kedua ini didasarkan pada asal keberadaan manusia yang pada fitrahnya manusia diciptakan di dunia ini memiliki fitrah keagungan dan kemuliayan sebagai makhluk paling sempurna sebagai keturunan Nabi Adam. Sebagai makhluk paling sempurna yang disebut adimanusia (insan kamil), tujuan dari penciptaan manusia di bumi untuk menjadi khalifah Allah fi al-ardl (menjadikan wakil-Nya di muka bumi). Kesimpulan ini dikarenakan Siti Jenar memandang bahwa dalam diri manusia yang terbuat dari tanah liat tersembunyi nur Ilahiyyah yang ditiupkan Allah pada saat penciptaan pertama. Oleh karena adanya ruh ilahiyyah inilah maka, makhluk yang diciptakan Allah sebelum manusia diperintahkan untuk bersujud kepada Adam a.s. Mereka serentak bersujud kecuali iblis.
Hal ini dikarenakan iblis tidak tahu tentang peniupan ruh ilahiyyah dan menganggap Adam merupakan makhluk yang lebih rendah darinya karena diciptakan dari anasir bumi saja. Konsep ini didasarkan pada Qs. As-Shad ayat 71-74
71.(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah".
72.Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya".
73.lalu seluruh malaikat-malaikat itu bersujud semuanya,
74.kecuali Iblis; Dia menyombongkan diri dan adalah Dia Termasuk orang-orang yang kafir.
Dari pemahaman inilah selanjutnya Siti Jenar menyamakan perbuatan iblis dengan perbuatan manusia yang tidak menghargai eksistensi sesamanya. Dalam kenyataannya manusia yang hakekatnya memiliki ruh ilahiyyah, tetapi masih banyak manusia yang tidak kuat menahan beratnya bujukan nafsu rendah badani. Sedangkan yang disebut nafsu rendah badani adalah kecenderungan manusia mencintai kebendaan. Karena kecenderungan inilah manusia menyerupai hewan (bahimah). Titik temu dari keduanya terletak pada ketundukan seseorang kepada apa/siapa saja dalam mendapatkan benda tersebut. Sehingga dalam mendapatkan kebendaan seseorang merelakan dirinya untuk dibebani kebohongan dan kecurangan bahkan melakukan apa saja. 
Pada dasarnya Allah telah membekali kepada manusia empat macam jiwa yang berfungsi menyemangati ruh. Dengan memaksimalkan keempatnya maka, manusia tersebut tidak hanya dapat mengalahkan nafsu rendah badaninya, bahkan dapat menjadi adimanusia (insan kamil) yakni wakil Allah di bumi yang membuat malaikat bersujud. Keempat jiwa tersebut adalah jiwa kebenaran, jiwa keberanian, jiwa ketabahan, dan jiwa kebebasan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa pencapaian menjadi insan kamil harus tetap berjalan pada rel syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tanpa pelaksanaan syari’at secara benar maka, manusia akan kehilangan arah dalam usaha mewujudkan diri sebagai khalifah di muka bumi.
Dari konsep khalifah allah fi al-ardl inilah selanjutnya berkembang menjadi konsep musawamah (persamaan derajat) yang juga berarti penghapusan diskriminasi yang selama ini terjadi di Lemah Bang. Dengan konsep Syekh Siti Jenar merombak sistem raja-kawula atau gusti-kawula menjadi sistem kemasyarakatan yang ia sebut sebagai masyarakat ummah, yang terdiri atas kabilah sebagai satuan terkecil, kemudian nagari.
Berdasarkan masyarakat ummah ini, penentuan pemimpin masing-masing tingkatan itu tidak didasarkan atas keturunan, akan tetapi pemilihan. Ukuran seorang pemimpin adalah memiliki derajat ruhani yang lebih tinggi dibandingkan manusia lainnya. Ia haruslah orang yang mempunyai keterikatan paling rendah terhadap kebendaan dan pengumbaran nafsu. Doktrin ini ditanamkan Siti Jenar karena ingin menjadikan daerah Lemah Bang sebagai desa yang Madani, sebagaimana yang telah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafa Rasyidah di Madinah dahulu.
Dari persamaan sebagaimaana yang digagasnya inilah maka, pada hakekatnya manusia memiliki kiblat dan tujuan yang sama, yaitu menjalankan tugas di bumi sebagai wakilNya. Manusia berkiblat sama, dimaksudkan apapun agamanya pada intinya hanya tunduk kepada Tuhannya saja. Sedangkan adanya perbedaan ritual dalam praktisnya sebagaimana yang dilakukan masing-masing agama, dipandang sebagai perbedaan yang bersifat lahiriyyah saja.  Lebih lanjut dijelaskan bahwa manusia tertinggi adalah mereka yang sudah dapat mewujudkan keberadaan dirinya sebagai adimanusia, yakni manusia sempurna (al-insan al-kamil) yang menjadi wakil Allah di bumi. 
Manusia berpangkat sebagai khalifah Allah di bumi sesungguhnya sudah secara fitrah. Karena keberadaan manusia pada dasarnya telah menyandang asma’, sifat dan af’al Allah. Dengan menyadari bahwa adanya adimanusia dan khalifah fil ardl adalah sama pada makna hakiki dalam asma’, shifat dan af’al maka sesungguhnya manusia secara fitrah menduduki jabatan sebagai wakilNya di bumi. Dari semua hakiki asma’, sifat dan af’al itu menyatu secara seimbang dan sempurna pada citra al-Haq yang ditiupkan olehNya saat menyempurnakan kejadian wakilNya. Sehingga sebagai wakil Allah di muka bumi sesungguhnya tercitrakan secara utuh pada kedudukan al-Haq di muka bumi (khalifah al-haq fi al-ardli).

3.  Konsep Alam
Menurut Siti Jenar alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia) yang kedua sama-sama akan mengalami kerusakan nantinya. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya adalah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan. Sesuai dengan term di atas berarti alam semesta juga merupakan penjelmaan dari dzat Tuhan. Hubungan antara raga dan jiwa berakhir ketika raga ditinggalkan ruhnya. Inilah yang menurutnya disebut sebagai kelepasan manusia dari belenggu kamatian di dunia. Sesudah itu manusia dapat menunggal dengan Tuhannya dalam alam keabadian.

4.  Fungsi Akal
Pengetahuan manusia dapat diperoleh melalui tiga media yaitu; akal (rasio), indera  dan intuisi. Dengan akalnya manusia memikirkan sesuatu, dan dengan inderanya manusia menanggapi adanya rangsangan yang datang dari luar dirinya dan dengan intuisinya manusia melaksanakan ibadahnya. Sedangkan akal dalam pandangan Siti Jenar akan dapat mengetahui kebenaran tentang Ketuhanan. Kebenaran ini diperoleh manusia bersamaan dengan penyadaran diri manusia itu sendiri karena, proses timbulnya pengetahuan itu bersamaan dengan munculnya kesadaran subjek terhadap objek (proses intuitif).

5.  Iradah manusia
Tuhan dalam ajaran Siti Jenar merupakan dzat yang menjadi sebab dari segala hal yang maujud, selain itu Tuhan juga merupakan dzat yang menjiwai segala sesuatu yang maujud. Term ini menjadi benar dengan adanya pengakuan dari Siti Jenar, bahwa dirinya adalah penjelmaan/inkarnasi dari Tuhan. Dengan pembuktian tersebut maka banyak ahli berpendapat bahwa ajaran Siti Jenar bersifat panteistik (all is god) mirip denga ajaran agama Hindhu. Berpijak dari pernyataan inilah dapat disimpulkan bahwa ajaran Siti Jenar, terkait dengan iradah manusia dapat disamakan dengan pandangan kaum Jabariyyah. Menurutnya semua apa yang dilakukan manusia secara langsung ditentukan oleh Tuhan. Sedangkan manusia yang tampaknya berbuat pada hakikatnya hanyalah pelaksana dari apa yang dititahkan oleh Tuhan. Keberadaan manusia dalam hal ini dapat disamakan dengan wayang yang digerakkan oleh dalangnya.

Disadur dari :
Hamka. 1976. Sejarah Umat Islam. Jakarta.  Bulan Bintang.
M. Hariwijaya. 2006. Islam Kejawen. Yogyakarta. Gelombang Pasang
M. Solihin. 2005. Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara. Jakarta. PT. Raja Grafindo
Munir Mulhan. Abdul. 2002. Syekh Siti Jenar Pergumulan Islam-Jawa. Jogjakarta. Yayasan Bentang Budaya
 Sofwan dkk. Ridin 2004. Islamisasi di Jawa. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Sunyoto. Agus. 2004. Sang Pembaharu Perjuangan dan Ajaran Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: LKis, Buku Keempat
Zaky. Ahmad Syafa. 2007. 140 Ajaran & Pemikiran Syekh Siti Jenar. Visi 7

0 komentar: