Poligami merupakan istilah
yang lazim digunakan untuk menyebut seorang lelaki dengan istri lebih dari
satu. Istilah ini bila dirunut dari aspek kesejarahan merupakan sebuah solusi
yang ditawarkan oleh Islam pada waktu itu. Kita masih ingat ketika itu
masyarakat Arab menjadikan perang dan gegeran sebagai hobi mereka. Perang bisa
terjadi dikarenakan banyak factor seperti rebutan oase, balas dendam antar suku
dan hal-hal lain. Karena peperangan inilah banyak lelaki yang tewas, sehingga
dengan sendirinya banyak pula perempuan tidak bersuami (janda). Dari sejarah
singkat ini dapat difahami bahwa tujuan dari poligamni adalah i’anah li
al-aramil (menolong janda) dan pengentasan kemiskinan. Namun rupanya kini
istilah ini mengalami pergeseran nilai. Hal ini terbukti dengan banyaknya
lelaki yang berpoligami dengan perempuan yang masih berstatus perawan dan
bahkan kaya. Meskipun hal itu boleh namun ajaran dalam Islam tidak semudah yang
terpraktikkan sebagaimana kini. Disamping itu kalangan kiyai terkadang membuat
guyonan dengan “takwa” atau takut istri tua. Plesetan yang tidak kalah menarik
sebagaimana biasa dibincangkan orang NU yang mengklaim dirinya sebagai penganut
ASWAJA. Istilah ini kemudian diplesetkan menjadi AZWAJA; yang berarti
(istri-istri). Ungkapan mereka ini secara tidak langsung memiliki dampak bagi
kalangan grass-root terlebih-lebih santri mereka.
Pengaruh yang paling
kentara adalah sifat imitate atau menirukan sang tokoh. Hal ini akan
sangat riskan bila antara yang meniru dan yang ditirukan tidak memiliki
kesamaan. Artinya mereka yang melakukan poligami merupakan orang yang memiliki
kelebihan dalam hal tertentu; terutama dalam hal keuangan. Namun alangkah
sialnya bagi mereka yang “mbonek” atau hanya mengandalkan keberanian
saja. Berangkat dari fenomena inilah maka beberapa mufassir “kontemporer”
berpendapat poligami adalah haram dan tidak disyariatkan dalam Islam. Ayat yang
selama ini diklaim sebagai legalitas berpoligami di tangan Asghar Ali Enginer
dengan melihat situasi India kala itu direkonstruksi maknanya. Menurutnya bila
perempuan lebih banyak maka poligami bisa menjadi solusi. Hal ini tidak
mengherankan karena Asghar hidup di masa dimana perempuan berjumlah sedikit.
Dengan ungkapan lain apa yang diungkapkan tersebut bertujuan agar orang Muslim
tidak merampas hak saudaranya.
Sedangkan Sayyid Husein
Nasr menafsirkan bahwa ayat yang digadang-gadang sebagai legalitas poligami
justru bermakna sebaliknya. Artinya poligami tidak dihalalkan. Ia berargumen
bahwa manusia tidak akan pernah bisa adil dalam membagi cintanya. Apa yang
diungkapkan Nasr ini sebenarnya telah diantisipasi oleh mujtahid tempo dulu
dengan mensyaratkan hanya keadilan dalam hal materi saja yang dituntut. Namun
ungkapan mujtadin tempo dulu ini juga tidak sepenuhnya benar. Karena meskipun
mereka bisa berlaku adil dari segi materi namun di sisi yang lain ada keadilan
yang terlupakan. Selain itu mereka yang cenderung berpendapat “boleh” terkadang
berlaku sewenag-wenang. Misalnya saja dengan mudah mereka menjatuhkan talak
atau melakukan “marital rape”. Tidak jarang talak dalam konteks ini bertujuan
menghilangkan seorang istri dan hendak mencari yang baru. Atau bahkan si
laki-laki ini mengira dalam bayangan alam fikirnya bahwa laki-laki “dijatah”
empat perempuan. Jadi mereka berlaku semaunya dan selengekan. Kasus yang masih
sangat hangat adalah kasus yang dialami AA Gym da’i televisi yang terkenal. Pada
langkah awal poligaminya ia menceraikan The Nini demi untuk menikahi perempuan
lain. Padahal jika diamati lebih lama ternyata The Nini dengan setia
mendampingi sang suami hingga berhasil menurunkan tujuh orang anak. Tentunya
dalam mengarungi kehidupan bersamanya bukan sebuah hal yang dapat disamakan
dengan jalan tol. Berbeda dengan sekarang AA Gym justru hendak atau bahkan
telah rujuk dengan The Nini. Logika yang sehat pasti akan bertanya, bagaimana
itu bisa dan bagaimana hukumnya bila ditinjau dari hokum Islam?
Pertanyaan yang kedua
ini merupakan sebuah pertanyaan yang dipandang perlu untuk diajukan. Karena
jika sebuah pernikahan dimulai pada garis start yang kurang pas maka hal yang
timbul di belakang hari juga akan lebih tidak pas lagi. Perspektif Islam
melalui al-Quran memandang jika telah talak bain kubra maka si perempuan tidak
boleh dinikahi suaminya lagi kecuali telah dinikahi sang muhallil. Dalam kasus
perceraian AA Gym tersebut apakah belum sampai pada taraf tersebut? Padahal
nyata-nyata perceraian dengan istri pertama telah disahkan oleh pengadilan
setempat. Apakah ini bukan sebuah pelanggaran berbaju agama???
Sedangkan “marital rape” yang diartikan
perkosaan dalam perkawinan sering terjadi karena si lelaki bertendensi bahwa
istri harus tunduk dan taat kepada sang suami dalam segala hal. Kita tidak bisa
menyalahkan sebuah doktrin dong!!! Karena pada dasarnya doktrin adalah sesuatu
yang bisu tanpa ada seseorang yang berusaha memaknainya. Dalam faktanya memang
sangat banyak doktrin ajaran Islam yang secara sepihak terkesan memojokkan
keberadaan perempuan (misoginis) lebih-lebih yang berstatus menjadi
istri sah dari seorang laki-laki. Misalnya saja istri yang tidak bersedia
diajak suami untuk melakukan hubungan badan akan dilaknat Malaikat hingga pagi,
“suwargo nunut neroko katut” dan masih banyak lagi. Doktrin yang selama
ini difahami hendaknya dikaji ulang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai
universal yang terkandung di dalamnya. Karena tidak menutup kemungkinan ada
sebuah selimut budaya yang melingkupinya yang sangat perlu untuk dilepaskan
demi mendapatkan solusi.
0 komentar:
Posting Komentar