BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Laman

Minggu, 18 Maret 2012

Nasib Bunga


Poligami merupakan istilah yang lazim digunakan untuk menyebut seorang lelaki dengan istri lebih dari satu. Istilah ini bila dirunut dari aspek kesejarahan merupakan sebuah solusi yang ditawarkan oleh Islam pada waktu itu. Kita masih ingat ketika itu masyarakat Arab menjadikan perang dan gegeran sebagai hobi mereka. Perang bisa terjadi dikarenakan banyak factor seperti rebutan oase, balas dendam antar suku dan hal-hal lain. Karena peperangan inilah banyak lelaki yang tewas, sehingga dengan sendirinya banyak pula perempuan tidak bersuami (janda). Dari sejarah singkat ini dapat difahami bahwa tujuan dari poligamni adalah i’anah li al-aramil (menolong janda) dan pengentasan kemiskinan. Namun rupanya kini istilah ini mengalami pergeseran nilai. Hal ini terbukti dengan banyaknya lelaki yang berpoligami dengan perempuan yang masih berstatus perawan dan bahkan kaya. Meskipun hal itu boleh namun ajaran dalam Islam tidak semudah yang terpraktikkan sebagaimana kini. Disamping itu kalangan kiyai terkadang membuat guyonan dengan “takwa” atau takut istri tua. Plesetan yang tidak kalah menarik sebagaimana biasa dibincangkan orang NU yang mengklaim dirinya sebagai penganut ASWAJA. Istilah ini kemudian diplesetkan menjadi AZWAJA; yang berarti (istri-istri). Ungkapan mereka ini secara tidak langsung memiliki dampak bagi kalangan grass-root terlebih-lebih santri mereka.
Pengaruh yang paling kentara adalah sifat imitate atau menirukan sang tokoh. Hal ini akan sangat riskan bila antara yang meniru dan yang ditirukan tidak memiliki kesamaan. Artinya mereka yang melakukan poligami merupakan orang yang memiliki kelebihan dalam hal tertentu; terutama dalam hal keuangan. Namun alangkah sialnya bagi mereka yang “mbonek” atau hanya mengandalkan keberanian saja. Berangkat dari fenomena inilah maka beberapa mufassir “kontemporer” berpendapat poligami adalah haram dan tidak disyariatkan dalam Islam. Ayat yang selama ini diklaim sebagai legalitas berpoligami di tangan Asghar Ali Enginer dengan melihat situasi India kala itu direkonstruksi maknanya. Menurutnya bila perempuan lebih banyak maka poligami bisa menjadi solusi. Hal ini tidak mengherankan karena Asghar hidup di masa dimana perempuan berjumlah sedikit. Dengan ungkapan lain apa yang diungkapkan tersebut bertujuan agar orang Muslim tidak merampas hak saudaranya.
Sedangkan Sayyid Husein Nasr menafsirkan bahwa ayat yang digadang-gadang sebagai legalitas poligami justru bermakna sebaliknya. Artinya poligami tidak dihalalkan. Ia berargumen bahwa manusia tidak akan pernah bisa adil dalam membagi cintanya. Apa yang diungkapkan Nasr ini sebenarnya telah diantisipasi oleh mujtahid tempo dulu dengan mensyaratkan hanya keadilan dalam hal materi saja yang dituntut. Namun ungkapan mujtadin tempo dulu ini juga tidak sepenuhnya benar. Karena meskipun mereka bisa berlaku adil dari segi materi namun di sisi yang lain ada keadilan yang terlupakan. Selain itu mereka yang cenderung berpendapat “boleh” terkadang berlaku sewenag-wenang. Misalnya saja dengan mudah mereka menjatuhkan talak atau melakukan “marital rape”. Tidak jarang talak dalam konteks ini bertujuan menghilangkan seorang istri dan hendak mencari yang baru. Atau bahkan si laki-laki ini mengira dalam bayangan alam fikirnya bahwa laki-laki “dijatah” empat perempuan. Jadi mereka berlaku semaunya dan selengekan. Kasus yang masih sangat hangat adalah kasus yang dialami AA Gym da’i televisi yang terkenal. Pada langkah awal poligaminya ia menceraikan The Nini demi untuk menikahi perempuan lain. Padahal jika diamati lebih lama ternyata The Nini dengan setia mendampingi sang suami hingga berhasil menurunkan tujuh orang anak. Tentunya dalam mengarungi kehidupan bersamanya bukan sebuah hal yang dapat disamakan dengan jalan tol. Berbeda dengan sekarang AA Gym justru hendak atau bahkan telah rujuk dengan The Nini. Logika yang sehat pasti akan bertanya, bagaimana itu bisa dan bagaimana hukumnya bila ditinjau dari hokum Islam?
Pertanyaan yang kedua ini merupakan sebuah pertanyaan yang dipandang perlu untuk diajukan. Karena jika sebuah pernikahan dimulai pada garis start yang kurang pas maka hal yang timbul di belakang hari juga akan lebih tidak pas lagi. Perspektif Islam melalui al-Quran memandang jika telah talak bain kubra maka si perempuan tidak boleh dinikahi suaminya lagi kecuali telah dinikahi sang muhallil. Dalam kasus perceraian AA Gym tersebut apakah belum sampai pada taraf tersebut? Padahal nyata-nyata perceraian dengan istri pertama telah disahkan oleh pengadilan setempat. Apakah ini bukan sebuah pelanggaran berbaju agama??? 
Sedangkan “marital rape” yang diartikan perkosaan dalam perkawinan sering terjadi karena si lelaki bertendensi bahwa istri harus tunduk dan taat kepada sang suami dalam segala hal. Kita tidak bisa menyalahkan sebuah doktrin dong!!! Karena pada dasarnya doktrin adalah sesuatu yang bisu tanpa ada seseorang yang berusaha memaknainya. Dalam faktanya memang sangat banyak doktrin ajaran Islam yang secara sepihak terkesan memojokkan keberadaan perempuan (misoginis) lebih-lebih yang berstatus menjadi istri sah dari seorang laki-laki. Misalnya saja istri yang tidak bersedia diajak suami untuk melakukan hubungan badan akan dilaknat Malaikat hingga pagi, “suwargo nunut neroko katut” dan masih banyak lagi. Doktrin yang selama ini difahami hendaknya dikaji ulang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai universal yang terkandung di dalamnya. Karena tidak menutup kemungkinan ada sebuah selimut budaya yang melingkupinya yang sangat perlu untuk dilepaskan demi mendapatkan solusi.

0 komentar: