BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Laman

Senin, 11 Juni 2012

Ajaran-ajaran Siti Jenar

Siti Jenar adalah salah satu dari sekian tokoh sufi yang secara epistemologis ikut kepada pendahulunya. Fahamnya yang akrab diungkapkan dengan “manunggaling kawula gusti” sering dialamatkan kepada al-Hallaj, padahal bila dirunut faham tersebut bernama wihdah al-wujud. Faham ini semestinya dialamatkan kepada Ibnu Arabi, namun dalam kenyataannya Siti Jenar sering dianggap dan dikatakan sebagai al-Hallaj al-Jawi. Padahal secara ontologis dan epistemologis alamat ini jelas tidak tepat. Terlepas dari hal itu, berikut ini pandangan beberapa hal dalam faham yang dikembangkannya.

1.  Konsep Ketuhanan
Tuhan menurut Siti Jenar dianggap sebagai suatu yang wujud tapi tidak nampak.  Memiliki dua puluh sifat yang apabila disatukan menjadi satu wujud mutlak yang disebut “dzat”. Tuhan berada di dalam sekaligus di luar diri manusia sendiri, hanya saja manusia tidak menyadarinya. Keberadaan manusia pada hakikatnya berasal dari Tuhan (inna lillah wa inna ilaihi raji’un). Manusia adalah gambaran Tuhan yang Maha Gaib sekaligus pencipta alam semesta. Dalam ajaran Jenar, keberadaan Tuhan tetap niscaya, begitu pula kebersatuannya dengan hamba (jawa: kawula). Sejak kebersatuan itu, eksistensi kawula menjadi manunggal dengan eksistensi Tuhan, yang berefek kepada pola perilaku dan ritualnya. Faham seperti inilah yang disebut dengan wihdat al-wujud khas ala Siti Jenar. Artinya faham yang mengatakan bahwa antara Tuhan dan manusia adalah satu kesatuan dalam eksistensinya.
Dalam tataran praktis Siti Jenar mengajarkan bahwa hidup di dunia sekarang ini tidak lebih sebagai kematian. Konsekwensi paling logis dari ajaran ini terbebasnya manusia selama masih hidup di dunia ini (alam kematian) dari ikatan dan tuntutan untuk melaksanakan aturan, baik yang bersifat syar’i atau aturan hukum lain yang bersifat keduniawian. Sebaliknya, kematian justru dipandangnya sebagai awal kehidupan yang abadi. Pandangan seperti ini didasarkan kepada pengertian bahwa kehidupan masih dihinggapi dan dilekati jiwa yang bersifat baru yang pada akhirnya nanti akan rusak dan bersifat kotor. Sifat rusak dan kekotoran jiwa itulah yang menjadi penghalang bersatunya manusia dengan Tuhan. Menurutnya juga, di dalam dunia ini juga terdapat surga dan neraka yang tidak dapat ditolak manusia. Pada akhirnya, orang dikatakan masuk surga apabila di dunia ini (yang merupakan kematian) dia mendapatkan kesenangan dan sebaliknya. 
Berbeda dengan jiwa, Syekh Siti Jenar memandang badan wadag atau raga dan jasmani manusia seluruhnya akan rusak dan hancur mejadi tanah. Badan jasmani inilah yang kelak dibawa kembali untuk menjalani hidup abadi sesudah kematian duniawi. Badan wadag ini justru dianggap menjadi pengungkung roh atau jiwa dan dianggap sebagai beban yang memberatkan serta menyakitkan bagi roh. Hal ini dikarenakan dengan kematian manusia terbebas dari segala derita dan dengan mati pula jiwanya akan menyatu dengan Tuhannya.
Siti Jenar menganggap dirinya inkarnasi dari dzat yang luhur. Dia   menganggap budinya sejiwa dengan Tuhan. Itu sebabnya ketika syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji tidak diinginkan maka itu tidak perlu dilakukan. Menurut Siti Jenar, pada waktu seseorang mengerjakan shalat, budinya bisa mencuri atau bahkan mengharapkan kepada selain Allah. Inilah yang menurutnya yang membedakan dirinya dengan manusia pada umumnya. Ia telah menjadi Tuhan yang Maha Suci yang tidak dapat dipikirkan.

2.  Konsep Khalifah fil al-Ardl
Konsep ini merupakan pengembangan dari konsep wihdah al-wujud. Doktrin yang kedua ini didasarkan pada asal keberadaan manusia yang pada fitrahnya manusia diciptakan di dunia ini memiliki fitrah keagungan dan kemuliayan sebagai makhluk paling sempurna sebagai keturunan Nabi Adam. Sebagai makhluk paling sempurna yang disebut adimanusia (insan kamil), tujuan dari penciptaan manusia di bumi untuk menjadi khalifah Allah fi al-ardl (menjadikan wakil-Nya di muka bumi). Kesimpulan ini dikarenakan Siti Jenar memandang bahwa dalam diri manusia yang terbuat dari tanah liat tersembunyi nur Ilahiyyah yang ditiupkan Allah pada saat penciptaan pertama. Oleh karena adanya ruh ilahiyyah inilah maka, makhluk yang diciptakan Allah sebelum manusia diperintahkan untuk bersujud kepada Adam a.s. Mereka serentak bersujud kecuali iblis.
Hal ini dikarenakan iblis tidak tahu tentang peniupan ruh ilahiyyah dan menganggap Adam merupakan makhluk yang lebih rendah darinya karena diciptakan dari anasir bumi saja. Konsep ini didasarkan pada Qs. As-Shad ayat 71-74
71.(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah".
72.Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya".
73.lalu seluruh malaikat-malaikat itu bersujud semuanya,
74.kecuali Iblis; Dia menyombongkan diri dan adalah Dia Termasuk orang-orang yang kafir.
Dari pemahaman inilah selanjutnya Siti Jenar menyamakan perbuatan iblis dengan perbuatan manusia yang tidak menghargai eksistensi sesamanya. Dalam kenyataannya manusia yang hakekatnya memiliki ruh ilahiyyah, tetapi masih banyak manusia yang tidak kuat menahan beratnya bujukan nafsu rendah badani. Sedangkan yang disebut nafsu rendah badani adalah kecenderungan manusia mencintai kebendaan. Karena kecenderungan inilah manusia menyerupai hewan (bahimah). Titik temu dari keduanya terletak pada ketundukan seseorang kepada apa/siapa saja dalam mendapatkan benda tersebut. Sehingga dalam mendapatkan kebendaan seseorang merelakan dirinya untuk dibebani kebohongan dan kecurangan bahkan melakukan apa saja. 
Pada dasarnya Allah telah membekali kepada manusia empat macam jiwa yang berfungsi menyemangati ruh. Dengan memaksimalkan keempatnya maka, manusia tersebut tidak hanya dapat mengalahkan nafsu rendah badaninya, bahkan dapat menjadi adimanusia (insan kamil) yakni wakil Allah di bumi yang membuat malaikat bersujud. Keempat jiwa tersebut adalah jiwa kebenaran, jiwa keberanian, jiwa ketabahan, dan jiwa kebebasan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa pencapaian menjadi insan kamil harus tetap berjalan pada rel syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tanpa pelaksanaan syari’at secara benar maka, manusia akan kehilangan arah dalam usaha mewujudkan diri sebagai khalifah di muka bumi.
Dari konsep khalifah allah fi al-ardl inilah selanjutnya berkembang menjadi konsep musawamah (persamaan derajat) yang juga berarti penghapusan diskriminasi yang selama ini terjadi di Lemah Bang. Dengan konsep Syekh Siti Jenar merombak sistem raja-kawula atau gusti-kawula menjadi sistem kemasyarakatan yang ia sebut sebagai masyarakat ummah, yang terdiri atas kabilah sebagai satuan terkecil, kemudian nagari.
Berdasarkan masyarakat ummah ini, penentuan pemimpin masing-masing tingkatan itu tidak didasarkan atas keturunan, akan tetapi pemilihan. Ukuran seorang pemimpin adalah memiliki derajat ruhani yang lebih tinggi dibandingkan manusia lainnya. Ia haruslah orang yang mempunyai keterikatan paling rendah terhadap kebendaan dan pengumbaran nafsu. Doktrin ini ditanamkan Siti Jenar karena ingin menjadikan daerah Lemah Bang sebagai desa yang Madani, sebagaimana yang telah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafa Rasyidah di Madinah dahulu.
Dari persamaan sebagaimaana yang digagasnya inilah maka, pada hakekatnya manusia memiliki kiblat dan tujuan yang sama, yaitu menjalankan tugas di bumi sebagai wakilNya. Manusia berkiblat sama, dimaksudkan apapun agamanya pada intinya hanya tunduk kepada Tuhannya saja. Sedangkan adanya perbedaan ritual dalam praktisnya sebagaimana yang dilakukan masing-masing agama, dipandang sebagai perbedaan yang bersifat lahiriyyah saja.  Lebih lanjut dijelaskan bahwa manusia tertinggi adalah mereka yang sudah dapat mewujudkan keberadaan dirinya sebagai adimanusia, yakni manusia sempurna (al-insan al-kamil) yang menjadi wakil Allah di bumi. 
Manusia berpangkat sebagai khalifah Allah di bumi sesungguhnya sudah secara fitrah. Karena keberadaan manusia pada dasarnya telah menyandang asma’, sifat dan af’al Allah. Dengan menyadari bahwa adanya adimanusia dan khalifah fil ardl adalah sama pada makna hakiki dalam asma’, shifat dan af’al maka sesungguhnya manusia secara fitrah menduduki jabatan sebagai wakilNya di bumi. Dari semua hakiki asma’, sifat dan af’al itu menyatu secara seimbang dan sempurna pada citra al-Haq yang ditiupkan olehNya saat menyempurnakan kejadian wakilNya. Sehingga sebagai wakil Allah di muka bumi sesungguhnya tercitrakan secara utuh pada kedudukan al-Haq di muka bumi (khalifah al-haq fi al-ardli).

3.  Konsep Alam
Menurut Siti Jenar alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia) yang kedua sama-sama akan mengalami kerusakan nantinya. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya adalah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan. Sesuai dengan term di atas berarti alam semesta juga merupakan penjelmaan dari dzat Tuhan. Hubungan antara raga dan jiwa berakhir ketika raga ditinggalkan ruhnya. Inilah yang menurutnya disebut sebagai kelepasan manusia dari belenggu kamatian di dunia. Sesudah itu manusia dapat menunggal dengan Tuhannya dalam alam keabadian.

4.  Fungsi Akal
Pengetahuan manusia dapat diperoleh melalui tiga media yaitu; akal (rasio), indera  dan intuisi. Dengan akalnya manusia memikirkan sesuatu, dan dengan inderanya manusia menanggapi adanya rangsangan yang datang dari luar dirinya dan dengan intuisinya manusia melaksanakan ibadahnya. Sedangkan akal dalam pandangan Siti Jenar akan dapat mengetahui kebenaran tentang Ketuhanan. Kebenaran ini diperoleh manusia bersamaan dengan penyadaran diri manusia itu sendiri karena, proses timbulnya pengetahuan itu bersamaan dengan munculnya kesadaran subjek terhadap objek (proses intuitif).

5.  Iradah manusia
Tuhan dalam ajaran Siti Jenar merupakan dzat yang menjadi sebab dari segala hal yang maujud, selain itu Tuhan juga merupakan dzat yang menjiwai segala sesuatu yang maujud. Term ini menjadi benar dengan adanya pengakuan dari Siti Jenar, bahwa dirinya adalah penjelmaan/inkarnasi dari Tuhan. Dengan pembuktian tersebut maka banyak ahli berpendapat bahwa ajaran Siti Jenar bersifat panteistik (all is god) mirip denga ajaran agama Hindhu. Berpijak dari pernyataan inilah dapat disimpulkan bahwa ajaran Siti Jenar, terkait dengan iradah manusia dapat disamakan dengan pandangan kaum Jabariyyah. Menurutnya semua apa yang dilakukan manusia secara langsung ditentukan oleh Tuhan. Sedangkan manusia yang tampaknya berbuat pada hakikatnya hanyalah pelaksana dari apa yang dititahkan oleh Tuhan. Keberadaan manusia dalam hal ini dapat disamakan dengan wayang yang digerakkan oleh dalangnya.

Disadur dari :
Hamka. 1976. Sejarah Umat Islam. Jakarta.  Bulan Bintang.
M. Hariwijaya. 2006. Islam Kejawen. Yogyakarta. Gelombang Pasang
M. Solihin. 2005. Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara. Jakarta. PT. Raja Grafindo
Munir Mulhan. Abdul. 2002. Syekh Siti Jenar Pergumulan Islam-Jawa. Jogjakarta. Yayasan Bentang Budaya
 Sofwan dkk. Ridin 2004. Islamisasi di Jawa. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Sunyoto. Agus. 2004. Sang Pembaharu Perjuangan dan Ajaran Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: LKis, Buku Keempat
Zaky. Ahmad Syafa. 2007. 140 Ajaran & Pemikiran Syekh Siti Jenar. Visi 7

Jumat, 08 Juni 2012

Nabi Perempuan dalam Islam


تلخيص عن كتاب "مصارعة النبيّة فى الاسلام"
نحوأصول الجديد عن الايّ القرأنية فى مسائل النبوّة

Penulis        Salamah Noor Hidayati, M. Ag

Judul          Kontroversi Nabi Perempuan dalam Islam
Tebal          xx + 163 halaman
Penerbit     Teras,  2012

القرأن الذي أصبح دستورا لسائر المسلمين يحتوي الى الامور التى تتمسك إما بالديانة والمعاملات. ومن جهة الديانة قال ربنا جل وعز عن أمور كثيرة, إما يتعلق بنفسه العزيز و رسله  و كتبه وشيئ أخر.و فى هذا الكتاب عبّرت المفؤلفة عن مسائل النبويّة وبالخصوص بنبية. يحتوي هذا الكتاب بما يتعلق بأرائ مختلفة, إمااليه و عليه. لكن ما أنسها الله عن تعبير الاي القرأنية التى تعبر من رجال الانبياء والنساء حتى كأن المؤلفة أصبحت عدلة الذكر.  وبعد ذكرها تلك المسائل ذكرت فى مواضع أخرى بحثا مقابلا بأراء المتقدمين كما فى تفسيرهم وهؤلاء المعاصرين بأرائهم عن فمينسميّة.
فى مبدء كتابتها عبرت عن تعريف النبوة التى إشتقّت عن كلمة نبأ بمعنى الخبر. وفى صيغي مصدره أنباء بمعى أخبر و نجّم  وتبباء, أما استنباء فمعنه سؤال شخص ليقص صاحبه بالقصة المعينة ونبوة كذلك يردف بمعنى الاوّل ويزد أنه اسم يتعلق بأصاف النبي و نبيوّن و أنبياء هما شكل جمعه. ولايبقى عن تعريف اللغوي الا جدالا كثيرة بين الناس. واصطلاحا فإنه يعرف بشخصية يوحى اليه الله تعالى بوسيلة الملك والرؤيا الصديقة وهم بيشرون وينذرون أمتهم كما فى 213 من سورة البقرة. وأحيانا كان بعض نبيه تعالى رسله كذلك وهما ليس متردفا معنى. كثير من علمائنا يعرفون ان الرسول هوالذى شخصية أوحي اليه تعالى وحيا كرسالة التى لابد ان يبلّغها الى سائر الناس. إذا ليس بين النبي والرسول تعريف تردف, وبيانه أن فى الحديت الذى أخرج أحمد بن حنبل ذكر عدد الرسل و النبيّ متفرقى جملة. اما عدد الرسل فهي 315 شخصا والنبي فعدده 124.000 سخص.  وكذلك عبر أيضا القرأن الكريم فى  52 من سورة الحج و 19 من سورة مريم. وقد كان فى فكر بعض الامم ان الرسل والانبياء هم الرجال زمانه, وهذا ان النساء لم تكن يالقة بتلك المتبة العالية. ولهذا الفكر أس كماذكر فى 43 من النحل. فى هذه الاية ذكرت كلمة "رجالا "ومعنه أن مستحقّ النبوّة والرسالة هم الرجال إذا لا تمكن تلكما للنساء وهذا فكر أغلبيّة الناس.
لكن يوجد فى بعض الايّ القرأنيّة أن الله تعالى اوحي الى بعض نساء الزمان وحيا, كما أوحي للرجال المختار, اذا صارت نبيّاة من جهة التعريف . واللاتى أعطهنّ تلك المرتبة كما عبرت الاي القرأنيّة سنذكرهنّ كما يلى :
  1.  سرح زوجة إبراهيم عليه السلم كما عبر فى  69-73 من سورة هود.  
  2. ملينة بنت يسر بن لاوى هي ام موسى عليه السلم كما عبر فى 7 من سورة القصص و 38 من سورة طه.
  3. مريم بنت عمران بن ياشم بن ميشى بن حزقيّ بن ياويش بن أيشى بن يهوشفاة بن سليمان بن داود هي أم عيسى عليه السلم كما ذكر فى 17-19 من سورة مريم و 75 من المائدة و 46 من يوسف.     
  فأقول, هذه الوقائع تدلّ ان الله تعالى قادر أن يصطفى و يرفع درجة عبده الى درجة عالية. وهذه أيضا دلت أن الاسلام جاء ليجعل أمته أمة مرتعفة الدرجة والمقامة خصصا لنساء أمته...

والله أعلم بالصواب!!!!


Sabtu, 02 Juni 2012

Siti Jenar


Syekh Siti Jenar, menurut ahli sejarah lahir pada tahun 829 H/1426 M di lingkungan Pakuwon Caruban, pusat kota Caruban larang waktu itu, yang sekarang lebih dikenal sebagai Astana Japura, sebelah tenggara Cirebon. Lingkugan kelahiran Syekh Siti Jenar merupakan lingkungan yang multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku. Siti Jenar memiliki nama kecil San Ali. San Ali merupakan putra dari Datuk Shaleh bin Isa Alawai Jamaluddin Husain bin Abdullah Khanuddin bin Abdul Malik al-Qazam. Al-Qazam adalah nama marga dari keluarga besar Alawiyyun yang terkenal di Ahmadabad, India, yang berasal dari Hadramaut, artinya Syekh Siti Jenar masih memiliki garis keturunan dari Ahl Bait-nya Rasulullah SAW.
Terdapat banyak ragam versi yang mengungkapkan biografi dan asal-usul dari Siti Jenar. Dalam buku yang ditulis oleh Munir Mulhan berjudul “Syekh Siti Jenar Pergumulan Islam-Jawa” misalnya, di sana dipaparkan beberapa cerita terkait nama dan asal sosok fenomenal tersebut. Menurut analisis Dalhar kata Siti Jenar berasal dari bahasa Persia, sidi: tuan, jinnar: orang yang berkekuatan seperti api. Ada pula yang mengatakan Siti Jenar adalah anak dari Resi Bungsu yang disihir oleh ayahnya dan menjadi seekor cacing yang dibungkus dengan lumpur (Jw: endhut) dan dibuang ke danau. Pada saat yang sama Sunan Bonang sedang mengajarkan ilmu kepada Sunan Kalijaga di atas danau dengan naik perahu. Perahu itu mengalami kebocoran, maka tanah liat yang di dalamnya berisi cacing tersebut digunakan untuk menambal perahu. maka cacing itu dirubah oleh sunan Bonang menjadi manusia dn diberi nama Siti (tanah) Jenar (merah). Sumber lain menyebutkan, bahwa Siti Jenar pada awalnya merupakan penganut agama Budha. Selanjutnya berguru kepada sunan Giri dan sunan Bonang bersama sunan Kalijaga.
Dalam perjalanan hidupnya, San Ali diasuh oleh Ki Danusela sampai umur lima tahun, bertepatan dengan tahun 1431 M. Selanjutnya San Ali  diasuh oleh Syekh Datuk Kahfi, pengasuh padepokan Giri Amparan Jati, agar didik ilmu agama Islam dan kerohanian. Padepokan ini merupakan tempat penyiaran agama Islam yang berpengaruh di Cirebon. Setelah belajar selama lima belas tahun di padepokan Giri Amparan, San Ali berinisiatif untuk melanjutkan belajar ilmu kerohanian dan tasawufnya di tempat lain. Tujuan pertamanya pergi ke Pajajaran. Suatu daerah yang banyak dihuni oleh pertapa dan ulama dari kalangan agama Hindhu dan Budha. Di sana San Ali  mempelajari kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya kerajaan Majapahit. Dari Pajajaran akhirnya San Ali berpindah ke Palembang untuk berguru kepada Aria Damar, seorang adipati sekaligus pengamal ajaran sufi kebatinan, murid dari Maulana Ibrahim Samarkandi. Di Palembang San Ali diperkirakan belajar selama dua tahun (1448 M-1450 M). Selama belajar di Palembang, San Ali belajar  pengetahuan tentang hakekat ketunggalan alam semesta yang dijabarkan dalam konsep “nurun ala nur” yang kemudian dikenal dengan kosmologi emanasi..
Dari Palembang San Ali pindah ke Malaka. Disana San Ali mulai masuk dunia bisnis sebagai saudagar emas dan barang kelontong sekaligus mendakwahkan agama Islam di tempat itu, sehingga dia dijuluki Syekh Jabaranta. di Malaka ini pula San Ali diberi nama baru, Abdul Jalil setelah bertemu dengan pamannya, Datuk Ahmad. Setelah dari Malaka San Ali atau Siti Jenar pindah ke Baghdad. Di Baghdad Siti Jenar berguru pada ulama sekte Syi’ah al-Muntadzar dan menjadi pengikut setianya. Setelah melakukan perjalanan yang panjang, akhirnya Siti Jenar pulang ke tanah kelahiranyya, Caruban Larang.  Di sini Siti Jenar menjadi juru dakwah dengan memanfaatkan bukit Amparan Jati sebagai pusat penyiaran dakwahnya.

Limit dalam al-Qur’an Perspektif Dr. Ir Muhammad Syahrur

Muhammad Syahrur adalah salah satu dari sekian banyak mujaddid. Ia seorang yang berkebangsaan Syiria; terlahir pada 11 Maret 1938. Disebut  sebagai mujaddid karena tokoh ini menawarkan beberapa konsep yang sedikit banyak memiliki perbedaan dengan konsep pendahulunya. Dalam karya fenomenalnya Ia mengkritik keberadaan yang melingkupi dan terjadi di sekitarnya, umumnya di dunia Islam. Ia mengatakan:” Dalam pengamatan Saya, ternyata dalam tradisi Islam hanya melakukan Qira’ah Mutakarrirah (pembacaan yang berulang-ulanng) kepada al-Quran, yang berending pada jumud dan taklid kepada pendahulunya saja”.
Apa yang diungkapkan Syahrur ada benarnya, karena selama ini dalam tradisi Islam khususnya belum mampu mengetengahkan sebuah pembacaan dan penafsiran yang kontekstual apalagi kontemporer. Di sana sini masih banyak phobia untuk melakukan ijtihad yang menghinggapi mayoritas umat Islam. Phobia ini dikarenakan sakralnya fatwa dan pendapat ulama abad ke-11 yang mengklaim bahwa “pintu ijtihad telah ditutup”. Dalam kritiknya Musfir Azmullah mengatakan:”Orang yang mengatakan hal itu perlu dicurigai, jangan-jangann ditutupnya pintu ijtihad dikarenakan Ia tidak mampu berbuat banyak dalam penggalian hukum untuk permasalahan tertentu”. Bila mau jujur fatwa tersebut juga diutarakan oleh seorang atau sekelompok orang yang profane bahkan “perlu dicurigai” karena adanya faktor subjektifitas yang melatar belakanginya.
Karena hal inilah Syahrur ingin membongkar klaim yang telah mapan dan telah menjadikan phobia di kalangan umat Islam. Ia ingin membaca al-Qura’an dengan pembacaan yang sama sekali berbeda sehingga dapat dijadikan foot note dan refrensi dalam menjawab pertanyaan kekinian. Dari sekian konsep yang ditawarkannya ada sebuah konsep yang nyentrik, yang lazimnya disebut dengan “nadzariyah al-hudud” atau teori limit. Kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari background intelektualnya sebagai seorang Insinyur teknik (al-Handasah al-Madiyah) jebolan Universitas di Dublin Irlandia. Secara singkat teori ini didefinisikan sebagai sebuah teori yang mengatakan bahwa Allah dalam al-Quran menetapkan ruang ijtihad (ruang gerak) kepada hamba-Nya, yang pada sisi lain ruang gerak ini juga memiliki batas-batas (hudud) yang tidak boleh dilanggar. Aturan main dalam teori ini sama dengan permainan sepak bola. Pemain bebas menggiring ke semua arah asalakan tidak keluar dan melewati dari hudud al-murabba’ (batas empat penjuru) lapangan. Jika melebihi maka secara otomatis akan terkena sanksi atau dosa.
Syahrur mendasarkan konsepnya dalam menyusun teori batas pada Alqur’an surat al-Nisa’ ayat 13-14. Syahrur mencermati penggalan ayat ”tilka hudud Allaah” yang menegaskan bahwa pihak yang memiliki otoritas untuk menetapkan batasan-batasan hukum (haqq at-tasyri’) hanyalah Allah semata. Sedangkan Muhammad Saw, meskipun beridentitas sebagai Nabi dan Rasul, pada hakekatnya otoritas yang dimiliki Muhammad tidak penuh dan Ia sebagai pelopor ijtihad dalam Islam. Hukum yang ditetapkan Nabi lebih bersifat temporal-kondisional sesuai dengan derajat pemahaman, kemampuan penalaran masyarakat, dan peradaban masyarakat pada waktu itu, artinya ketetapan hukum tersebut tidak bersifat mengikat hingga akhir zaman. Maka, di sinilah kita mempunyai ruang untuk melihat al-Qur’an dan berijtihad dengan situasi dan kondisi yang dilatar belakangi ilmu pengetahuan pada masa sekarang.
Syahrur berargumen dengan dalil fisikanya bahwa tidak ada benda yang gerakkannya dalam bentuk garis lurus. Seluruh benda sejak dari elektron yang paling kecil hingga galaksi yang terbesar bergerak secara hanifiyyah (tidak lurus). Oleh karena itu ketika manusia dapat mengusung sifat seperti ini maka Ia akan dapat hidup harmonis dengan alam semesta. Demikian halnya kandungan hanifiyyah dalam hukum Islam yang cenderung selalu mengikuti kebutuhan sebagian anggota masyarakat dengan penyesuaian dengan tradisi masyarakat. Untuk mengontrol perubahan-perubahan ini maka adanya sebuah garis lurus istiqamah menjadi keharusan untuk mempertahankan aturan-aturan hukum yang dalam konteks inilah teori batas diformulasikan. Garis lurus bukanlah sifat alam ia lebih merupakan karunia Tuhan agar ada bersama-sama dengan hanifiyah untuk mengatur masyarakat. Dalam bentuk matematisnya, Syahrur menggambarkan hubungan antara al-hanafiyyah dan al-istiqamah dengan sebuah kurva dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks.
Sumbu X menggambarkan zaman atau konteks waktu sejarah, sedangkan sumbu Y sebagai undang-undang yang ditetapkan oleh Allah Swt. Kurva ini menggambarkan dinamika ijtihad manusia bergerak sejalan dengan sumbu X yang dibatasi dengan hukum yang telah ditentukan oleh Allah pada sumbu Y. Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum, Syahrur menyimpulkan adanya enam bentuk dalam teori batas yang dapat digambarkan dalam bentuk matematis dengan perincian sebagai berikut:
  1. Al-hadd al-Adna (posisi batas minimal). Daerah hasilnya berbentuk kurva tebuka yang memiliki satu titik batas minimum. Titik ini terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu X. Dalam batas minimum ini Syahrur mencontohkan pada pelarangan dalam al-Qur’an untuk mengawini para perempuan yang disebutkan pada surat an-Nisa: 22: ”…dalam kondisi apapun tidak boleh melanggar batasan ini meskipun telah melakukan proses ijtihad”. Contoh batasan ini terdapat dalam surat an-Nisak: 23: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);… Dalam kondisi apapun tidak seorang pun yang diperbolehkan menikahi mereka yang dilarang dalam ayat ini, meskipun didasarkan pada ijtihad.
  2. Al-had al-A’la (posisi batas maksimal). Daerah hasil (range) dari persamaan fungsi y(Y)=f (x) berbentuk kurva tertutup yang hanya memiliki satu titik batas maksimum. Titik ini terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu X. Untuk kasus ini dapat kita lihat pada QS. Al-Maidah: 38 mengenai pencuri. Baik laki-laki maupun perempuan maka potonglah tangan mereka. Potong tangan disini adalah hukuman maksimum. Karena itu hukuman untuk pencuri tidak mesti potong tangan tetapi tergantung pada kualitas barang yang dicuri dan kondisi saat itu.
  3. Halah al-haddayn al-a’la wa al-adna ma’an (posisi batas maksimal bersamaan dengan batas minimal). Daerah hasilnya berupa kurva tertutup dan terbuka yang masing-masing mamiliki titik balik maksimum dan minimum. Kedua titik balik trsebut terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu x. Diantara kedua kurva ini terdapat titik singgung (nuqtah al-ini’taf) yang tepat berada diantara keduanya.  Posisi ini juga disebut dengan halah al-mustaqim atau halah at-tasyri’ al-ayni (posisi penetapan hukum secara mutlak). Batasan ini berlaku pada pemabagian harta warisan. Dalam al-Qur’an dapat diperhatikan dalam QS. an-Nisa’ ayat 11.
  4. Halah al-mustaqim (posisi lurus tanpa alternatif). Daerah hasilnya berupa garis lurus sejajar dengan sumbu x. Karena berbentuk garis lurus, posisi ini meletakkan titik alik maksimum berimpit dengan titik balik minimum. Ketentuan ini hanya terdapat satu kasus dalam al-Qur’an pada surat an-Nur mengenai kasus penzinaan. Bagi penzina laki-laki maupun perempuan maka deralah mereka 100 kali dengan tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Keberadaan had al-mustaqim ini dikarenakan adanya redaksi  “Dan janganlah kamu mengasihi mereka berdua dalam menegakkan aturan Allah” (wa la ta’khudz bihima ra’fatan fi din Allah). Redaksi inilah yang berperan sebagai qarinah untuk tidak dikurangi atau dilebihkan
  5. Al-hadd al-a’la li hadd al-muqarib duna al-mamas bi al-hadd abadan (posisi batas maksimal cenderung mendekat tanpa bersentuhan). Daerah hasilnya berupa kurva terbuka yang terbentuk dari titik pangkal yang hampir berhimpit dengan sumbu x dan titik final yang hampir berhimpit dengan sumbu y. Secara matematis, titik final hanya benar-benar berhimpit dengan sumbu y pada daerah tak terhingga (’ala la nihayah). Posisi ini diterapkan dalam batasan hubungan fisik antara laki-laki dan perempuan. Hubungan fisik terjadi antara manusia berlawanan jenis ini bermula dari batasan terendah, berupa hubungan tanpa persentuhan sama sekali antara keduanya dan berakhir pada batasan paling tinggi, berupa tindakan yang menjurus pada hubungan kelamin yang disebut zina. Ketika seseorang masih berada pada tahap melakukan tindakan yang menjurus ke zina tetapi belum sampai pada zina itu maka ia belum terjerumus pada batasan maksimum hubungan fisik yang ditetapkan Allah. Sebelum mereka melakukan zina maka hukuman had untuk pezina sebagaimna yang dinarasikan Tuhan tidak dapat dilaksanakan kecuali hukuman khalwat.
  6. Al-hadd al-a’la mujaban wa al-hadd al-adna saliban (posisi batas maksimal positif dan batas minimal negatif). Daerah hasilnya berupa kurva gelombang dengan titik balik maksimum yang berada di daerah positif (kedua variabel x dan y, bernilai positif) dan titik balik minimum berada di daerah negatif (variabel y bernilai negatif). Kedua titik ini terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu x. Teori batas keenam inilah yang kita pakai dalam menganalisis transaksi keuangan. Batas tertinggi dalam peminjaman uang dinamakan dengan pajak bunga dan batas terendah dalam pemberian adalah zakat. Garis tengah yang berada antara wilayah positif (+) dan negative (-) adalah titik nol (batas netral). Pemberian pada wilayah nol ini adalah peminjaman bebas bunga (qardh hasan). Wilayah ijitihad manusia, menurut Syahrur berada di antara batas minimum dan maksimum itu tadi.
Demikian nyentriknya teori limit yang diutarakan M. Syahrur. Tentu saja se-nyentrik apapun sebuah teori diungkapkan pasti tidak lepas dari dua kemungkinan. Adanya apresiasi sekaligus pejorasi merupakan dua hal yang diibaratkan dua mata uang yang tidak terpisahkan. Artinya kedua hal di atas sangat mungkin bagi sebuah pemikiran yang diungkapkan seseorang. Syahrur pun juga mengalami hal yang serupa, pihak yang mengapresiasi karyanya mengungkapkan pujiannya dengan membagi-bagikan karya Syahrur inii secara gratis sebagaimana yang dilakukan oleh Sultan Qaboos di Oman kepada menteri-menterinya. Di kubu yang lain tidak kurang dari sepuluh buku ditulis para pakar dalam rangka mengkonter dari pemikiran yang nyentrik ini. Berikut ini buku-buku pengkonter pemikiran Syahrur:
  1. Al-Hadtsiun al-Arab fi al-Uqud al-Tsalasati al-Akhirah wa al-Qur’an al-Karim karya Jailani Miftah.
  2. Al-Qira’ah al-Mu’ashirah fi al-Mizan karya Ahmad Imran, Tahafut al-Dirasah al-Mu’ashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama’ karya Mahami Munir Muhammad Thahir al-Syawwafi.
  3. Al-Furqan wa al-Quran (Qira’ah Islamiyyah Mu’ashirah Dhimni al-Tsawab al-Ilmiyyah wa al-Dhawabidh al-Manhajiyyah) karya Khalid Abdurrahman al-‘Aki.
  4. Naqd Lughawi li al-Kitab wa al-Quran karya Yusuf al-Shaidawi, al-Quran wa Auham al-Qira’ah al-Mu’ashirah karya Jawwad al-Basyir.
  5. Qira’ah Ilmiyyah li al-Qira’ah al-Mu’ashirah karya Syauqi Abu Khalil.
  6. Al-Isykaliyyat al-Manhajiyyah fi al-Kitab wa al-Quran karya Mahir al-Munjid.
  7. Ila Dzalika al-Rajul karya Muhammad Sa’id al-Thaba’i.
  8. Al-Rad ala al-Duktur al-Syahrur fi Masalah Libas al-Mar’ah karya Muhammad Haitam Islambuli.
  9. Al-Sunnah Wahyu min Allah au Ijtihad karya Munir al-Syawaf.
  10. Taqwim Ilmi li Kitab al-Kitab wa al-Quran karya Muhammad Furais Munfaikhi,
  11. Mughalathah al-Mu’ashirah fi al-Rad ala Kitab Dirasah Diniyyah Mu’ashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama’ karya Makmun al-Juwaijati.
  12. Li Asas al-Khasir li al-Qira’ah al-Mu’ashirah karya Makmun al-Juwaijati.
  13. Al-Rad al-Qur’ani ala Auham duktur Muhammad Syahrur fi Kitabih al-Islam wa al-Iman karya Muhammad Syaikhani.
Disarikan dari:
1.    Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Quran (Damaskus: al-Ahali, 1990)