BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Laman

Kamis, 09 Februari 2012

Risalah al-Imamah


Sebelum masuk kepada pembahasan secara normative perihal kepemimpinan dalam Islam, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui definisinya baik secara etimologi ataupun terminologi. Kepemimpinan merupakan kata yang memiliki infinitive kata “pimpin”;yang berarti menerangkan cara memimpin atau perihal pemimpin. Kata ini di dalam bahasa Arab sepadan dengan kata imamah. Secara etimologi kata imamah merupakan derifasi (turunan) dari kata amma-yaummu-imaman; yang bermakna menyengaja sebagaimana diungkapkan Ibnu Mandzur. Sedangkan imam al-Jauhari berpendapat bahwa kata imam secara etimologi merupakan derifasi dari kata ummu; yang berarti ibu. Sehingga imam memiliki definisi orang yang diikuti oleh orang lain; atau jika dalam konteks perang merupakan seseorang yang membawahi anak buahnya (junud; tentara). Dari definisi ini maka dapat disimpulkan bahwa kata imam jika dirangkai dengan kata apapun pasti akan berimplikasi pada sebuah gelar atau posisi tinggi dalam bidang tertentu.
Sedangkan imamah secara terminologi memiliki definisi posisi tertinggi dalam sebuah komunitas, yang memiliki konsekwensi sebagai penanggung jawab dalam kemaslahatan komunitas tersebut. Dari definisi di atas maka banyak kalangan; fuqaha khusunya, mensyaratkan sifat dzukuriyyah (laki-laki/male) sebagai pemimpin disamping syarat-syarat yang lain. Sifat dzukuriyyah ini merupakan hasil interpretasi dari hadis Rasul SAW “lan yufliha qaumun wallau amrahum imraatan” yang mereka fahami secara literal. Selain bertendensi pada hadis tersebut ada pula kalangan yang bertendensi pada QS. al-Nisa ayat 34.
Namun demikian adapula kalangan yang memperbolehkan perempuan untuk berkecimpung dalam hal kepemimpinan ini. Pendapat ini diungkapkan oleh sebagian ulama yang bermadzhab Hanafiyyah. Mereka berargumen bahwa perempuan juga termasuk ahli syahadah (persaksian), seperti halnya laki-laki maka mereka punya hak yang sama dalam bidang wilayah (kepemimpinan). Namun kalangan ini  menganggap tidak absah apabila perempuan memberikan keputusan dalam qishash dan hudud. Mereka berargumen, bahwa dalam hal ini perempuan memiliki sifat lemah yang lebih dominan bila dibanding dengan laki-laki. Karena pada ranah qishash dan hudud merupakan ranah yang rentan dengan perdebatan.
Sementara itu, kalangan modernis; khususnya feminis memandang pelarangan perempuan untuk ikut andil dalam panggung perpolitikan lebih dikarenakan adanya bias gender. Bias gender adalah prasangka yang dibuat tanpa pengetahuan yang memadai atau bukti-bukti yang kuat, terhadap seseorang atau sekelompok masyarakat yang didasarkan pada peran dan posisi gender laki-laki dan perempuan.
Bias ini sangat berkaitan dengan keyakinan adanya pemisahan antara ruang publik dan ruang privat. Ruang publik adalah tempat dan milik laki-laki, baik secara sosial-politik maupun ekonomi. Ruang privat adalah ranah perempuan, tempat mereka hadir dan beraktivitas. Adapun yang biasa dianggap bagian dari ruang pertama; misalnya, lembaga-lembaga publik, partai politik, parlemen, dan sejenisnya. Sementara, keluarga, merawat suami dan membesarkan serta mendidik anak, aktivitas rumah tangga sering diasumsikan sebagai bagian dari ruang kedua.
Pembagian ini menyebabkan, masalah kesetaraan dan keadilan tidak menjadi perhatian. Atas dasar itu, tidak mengherankan juga apabila parlemen dan jabatan kepresidenan selama ini dianggap sebagai ranahnya kaum laki-laki. Jika ada perempuan yang coba-coba masuk ke dalamnya, niscaya ia akan ditanyai hal-hal yang tidak berkaitan dengan kapasitas dan keahliannya. Sebaliknya, sudah seperti taken for granted saja bahwa laki-laki bisa dengan tenang menempati posisi sebagai anggota parlemen atau presiden tanpa harus dipermasalahkan kapasitas dan keahliannya. Memang banyak faktor mengapa bias gender tersebut ada dan dilestarikan dalam masyarakat kita. Patrialkhi penyebabnya, begitu kiranya komentar kalangan feminis radikal. Dengan kata lain ilmu politik yang bernotabene sebagai salah satu turunan dari ilmu-ilmu sosial, langsung maupun tidak, memberikan kontribusi dalam lahir dan berkembangnya bias gender dalam dunia akademisi khususnya, dan masyarakat pada umumnya.
Menurut Rousseau, perempuan memang secara alamiah tidak pas untuk masuk dalam kepemimpinan publik. Pada titik ini terlihat ada kecenderungan misogini (sikap tidak menyukai perempuan) dalam diri para pemikir besar tersebut. Dalam lingkup yang sempit; Indonesia misalnya betapa Megawati dikritik dan dikecam pada saat ia mencalonkan diri sebagai presiden. Kritikan atau kecaman tersebut ditujukan pada dirinya semata-mata karena ia seorang perempuan. Politik dan metodologi politik yang konvensional juga memandang rendah atau bahkan mengabaikan akibat dari hubungan, keyakinan, dan ketidaksetaraan gender dalam masyarakat. Namun, sejauh ini sebagian besar teori-teori politik kontemporer, menyepakati apa yang disebut sebagai “dataran egalitarian” sebagaimana dalam nilai-nilai yang dibawa oleh Islam. 
Akan tetapi, pada kenyataannya sampai kini sebagian besar filsafat politik arus utama masih mempertahankan, atau setidak-tidaknya menerima, adanya diskriminasi gender. Banyak kalangan feminis yang menganggap bahwa prinsip-prinsip dalam ilmu politik atau filsafat politik telah dibangun dan dikembangkan berdasarkan kepentingan dan pengalaman kaum laki-laki, yang sudah pasti tidak dapat secara memadai mengenali kebutuhan-kebutuhan perempuan, atau menjadikan pengalaman kaum perempuan bagian darinya. Menurut kalangan feminis hal ini sebagian besar disebabkan keyakinan kultural, dan menerima begitu saja peran gender yang tradisional yang terkesan memojokkan kaum perempuan.

0 komentar: