Sebelum masuk kepada pembahasan secara
normative perihal kepemimpinan dalam Islam, maka terlebih dahulu kita harus
mengetahui definisinya baik secara etimologi ataupun terminologi. Kepemimpinan
merupakan kata yang memiliki infinitive kata “pimpin”;yang berarti menerangkan
cara memimpin atau perihal pemimpin. Kata ini di dalam bahasa Arab sepadan
dengan kata imamah. Secara etimologi kata imamah merupakan
derifasi (turunan) dari kata amma-yaummu-imaman; yang
bermakna menyengaja sebagaimana diungkapkan Ibnu Mandzur. Sedangkan imam
al-Jauhari berpendapat bahwa kata imam secara etimologi merupakan
derifasi dari kata ummu; yang berarti ibu. Sehingga imam memiliki
definisi orang yang diikuti oleh orang lain; atau jika dalam konteks perang
merupakan seseorang yang membawahi anak buahnya (junud; tentara). Dari
definisi ini maka dapat disimpulkan bahwa kata imam jika dirangkai
dengan kata apapun pasti akan berimplikasi pada sebuah gelar atau posisi tinggi
dalam bidang tertentu.
Sedangkan imamah secara
terminologi memiliki definisi posisi tertinggi dalam sebuah komunitas, yang
memiliki konsekwensi sebagai penanggung jawab dalam kemaslahatan komunitas
tersebut. Dari definisi di atas maka banyak kalangan; fuqaha khusunya,
mensyaratkan sifat dzukuriyyah (laki-laki/male) sebagai pemimpin
disamping syarat-syarat yang lain. Sifat dzukuriyyah ini merupakan hasil
interpretasi dari hadis Rasul SAW “lan yufliha qaumun wallau amrahum
imraatan” yang mereka fahami secara literal. Selain bertendensi pada hadis
tersebut ada pula kalangan yang bertendensi pada QS. al-Nisa ayat 34.
Namun demikian adapula kalangan yang
memperbolehkan perempuan untuk berkecimpung dalam hal kepemimpinan ini.
Pendapat ini diungkapkan oleh sebagian ulama yang bermadzhab Hanafiyyah. Mereka
berargumen bahwa perempuan juga termasuk ahli syahadah (persaksian),
seperti halnya laki-laki maka mereka punya hak yang sama dalam bidang wilayah
(kepemimpinan). Namun kalangan ini
menganggap tidak absah apabila perempuan memberikan keputusan dalam qishash
dan hudud. Mereka berargumen, bahwa dalam hal ini perempuan memiliki
sifat lemah yang lebih dominan bila dibanding dengan laki-laki. Karena pada
ranah qishash dan hudud merupakan ranah yang rentan dengan perdebatan.
Sementara itu, kalangan modernis;
khususnya feminis memandang pelarangan perempuan untuk ikut andil dalam
panggung perpolitikan lebih dikarenakan adanya bias gender. Bias gender adalah prasangka yang dibuat tanpa pengetahuan yang memadai atau bukti-bukti yang kuat, terhadap
seseorang atau sekelompok masyarakat yang didasarkan pada peran dan posisi
gender laki-laki dan perempuan.
Bias ini sangat berkaitan
dengan keyakinan adanya pemisahan antara ruang publik dan ruang privat. Ruang
publik adalah tempat dan milik laki-laki, baik secara sosial-politik maupun
ekonomi. Ruang privat adalah ranah perempuan, tempat mereka hadir dan
beraktivitas. Adapun yang biasa dianggap bagian dari ruang pertama; misalnya,
lembaga-lembaga publik, partai politik, parlemen, dan sejenisnya. Sementara,
keluarga, merawat suami dan membesarkan serta mendidik anak, aktivitas rumah
tangga sering diasumsikan sebagai bagian dari ruang kedua.
Pembagian ini
menyebabkan, masalah kesetaraan dan keadilan tidak menjadi perhatian. Atas
dasar itu, tidak mengherankan juga apabila parlemen dan jabatan kepresidenan
selama ini dianggap sebagai ranahnya kaum laki-laki. Jika ada perempuan yang
coba-coba masuk ke dalamnya, niscaya ia akan ditanyai hal-hal yang tidak
berkaitan dengan kapasitas dan keahliannya. Sebaliknya, sudah seperti taken
for granted saja bahwa laki-laki bisa dengan tenang menempati posisi
sebagai anggota parlemen atau presiden tanpa harus dipermasalahkan kapasitas
dan keahliannya. Memang banyak faktor mengapa bias gender tersebut ada dan
dilestarikan dalam masyarakat kita. Patrialkhi penyebabnya, begitu kiranya
komentar kalangan feminis radikal. Dengan kata lain ilmu politik yang
bernotabene sebagai salah satu turunan dari ilmu-ilmu sosial, langsung maupun
tidak, memberikan kontribusi dalam lahir dan berkembangnya bias gender dalam
dunia akademisi khususnya, dan masyarakat pada umumnya.
Menurut Rousseau, perempuan memang
secara alamiah tidak pas untuk masuk dalam kepemimpinan publik. Pada titik ini
terlihat ada kecenderungan misogini (sikap tidak menyukai perempuan)
dalam diri para pemikir besar tersebut. Dalam lingkup yang sempit; Indonesia
misalnya betapa Megawati dikritik dan dikecam pada
saat ia mencalonkan diri sebagai presiden. Kritikan atau kecaman tersebut
ditujukan pada dirinya semata-mata karena ia seorang perempuan. Politik
dan metodologi politik yang konvensional juga memandang rendah atau bahkan
mengabaikan akibat dari hubungan, keyakinan, dan ketidaksetaraan gender dalam
masyarakat. Namun, sejauh ini sebagian besar teori-teori politik kontemporer,
menyepakati apa yang disebut sebagai “dataran egalitarian” sebagaimana
dalam nilai-nilai yang dibawa oleh Islam.
Akan tetapi, pada kenyataannya sampai kini sebagian besar filsafat
politik arus utama masih mempertahankan, atau setidak-tidaknya menerima, adanya
diskriminasi gender. Banyak kalangan feminis yang menganggap bahwa
prinsip-prinsip dalam ilmu politik atau filsafat politik telah dibangun dan
dikembangkan berdasarkan kepentingan dan pengalaman kaum laki-laki, yang sudah
pasti tidak dapat secara memadai mengenali kebutuhan-kebutuhan perempuan, atau
menjadikan pengalaman kaum perempuan bagian darinya. Menurut kalangan feminis
hal ini sebagian besar disebabkan keyakinan kultural, dan menerima begitu saja
peran gender yang tradisional yang terkesan memojokkan kaum perempuan.
0 komentar:
Posting Komentar