Dalam
kehidupan dan tradisi beragama dikenal adanya madzhab. Redaksi ini secara
etimologi berasal dari kata dzahaba yang berarti pergi dan memilih. Sedangkan kata
madzhab merupakan bentuk (sighat) yang mewakili isim zaman dan isim makan. Jadi
madzhab bisa diartikan tempat bepergian atau waktunya bepergian. Sedangkan secara
terminology redaksi ini memiliki definisi sebuah metode yang ditelorkan oleh
ahli khusunya fikih dalam beristinbat atau penggalian hokum dalam agama atau
dalam domain yang lain. Hal ini dikarenakan bahwa madzhab bukan hanya
dimonopoli atau istilah yang dimiliki dalam Islam saja. Namun dalam banyak hal
juga ada dikotomi yang berending pada sebuah madzhab (pilihan) yang memiliki
karakter tertentu, baik secara redaksional maupun secara praksisnya.
Salah
satu yang menjadi ciri madzhab adalah adanya kekhasan atau seseuatu yang
dipandang membedakan dengan yang selainnya. Misalnya dalam madzhab Syafii
memiliki sesuatu yang berbeda sekaligus menjadi katakteristik dari madzhab
Hanbali. Begitu seterusnya. Kata madzhab terkadang diidentikkan dengan sekte. Padahal
secara gramatikal keduanya berbeda dari satu sisi dan sama dari satu sisi yang
lain.
Di
Indonesia sendiri selain menjamin kebebasan beragama juga menjamin kebebasan
untuk berkumpul dan berorganisasi. Sehingga sebenarnya di Indonesia sendiri
banyak agama yang muncul berikut madzhab serta sekte-sektenya. Setidaknya ada
lima agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah Indonesia. Namun pada
kepemimpinan mendiang Gus Dur Konghuchu juga diresmikan menjadi agam yang resmi
diakui oleh negara. Padahal jika mau petan dan teliti ternyata masih ada
agama-agama yang berkembang dan dianut oleh bangsa Indonesia. Agama ini ada
yang berbentuk sederhana dan ada pula yang sudah dimodifikasi. Dikatakan sederhana
karena agama tersebut masih berparadigma dan melakukan ritual yang sangat
sederhana dan terkesan kolot. Namun pada sisi yang lain itu adalah wujud dari hokum
alam yang telah dijalankan Tuhan.
Di
Indonesia kita mengenal dan mengetahui banyak macam ormas keagamaan; seperti NU,
Muhammadiyah, Persis, LDII, Santri Loka, dan yang lainnya. Organisasi-organisasi
ini muncul dikarenakan adanya claim confident atau klaim kepercayaan
diri dari masing-masing bahwa mereka dan pemikirannya merupakan sesuatu yang
ditunggu dan dapat dijadikan sebagai solusi umat. Dari sisi dalam mereka juga
menggunakan sumber pokok Islam sebagai landasan berfikir mereka. Oleh karenanya
apa yang mereka gagas dan mereka lakukan pada dasarnya telah juga menggunakan
dasar-dasar yang benar dan jelas. Namun terkadang perdebatan, gesekan dan
bahkan musyakalah tidak
terelakkan antar ormas itu. Kebiasaan yang terjadi pimpinan dari sebuah ormas
tidak merasa gerah atas pendapat ormas lain, namun anak buah dan grass root
mereka yang justru menghakimi dengan sebuah klaim.
Penghakiman
ini merupakan tindakan yang profokatif. Karena penghakiman ini bisa berakibat
memperbesar jurang perbedaan, klaim kafir (takfir) dan dampak negative yang
lain. Hal ini pernah dialami oleh koordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) yang
dihalalkan darahnya oleh gembong dari ormas yang lain. Klaim kafir ini
dikarenakan organisasi ini telah melakukan liberalisasi penalaran teks suci
yang harusnya hal ini tidak boleh terjadi bahkan haram. Penafsiran dan argument
JIL dinilai keluar dari rel Islam sehingga mereka dihukumi kafir dan orang
kafir menurut mereka halal darahnya.
Jika
mau jujur antara dzikr dan fikr sama-sama mendapatkan apresiasi dan dorongan
dari Islam. Dorongan ini pada dasarnya berimbang diantara keduanya. Hal ini
terbukti dengan banyaknya redaksi Quran yang menuntun manusia untuk berfikir
dan berdzikir. Justru hal ini akan aneh dan tidak logis; ketika seseorang
berdzikir sangat dipuja-puja. Sedangkan di sisi lain ketika orang berfikir dan
menelorkan ide baru justru dikafirkan dan dipojokkan. Hal ini mestinya tidak
perlu terjadi karena pada dasarnya kebebasan berfikir dan berekspresi selama
itu positif haruslah diapresiasi sebagai penemuan yang boleh dibilang baru. Di sisi
lain hal ini justru memperkaya khazanah pemikiran dalam Islam sendiri.
Namun
semua telah terjadi, saya berharap kepada sekte dan kelompok yang melakukan
takfir segeralah bertaubat. Biarkan kami dan mereka melakukan rasionalisasi
pada sebagian kecil perihal agama. Saya meyakini agama adalah sebuah hal yang
mati dan paten. Namun agama tidak cukup untuk diimani saja, aktualisasi dan
rasionalisasi untuk saat sekarang adalah dua hal yang mutlak diperlukan.
والله أعلم بالصواب
0 komentar:
Posting Komentar