BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Laman

Jumat, 17 Februari 2012

Piagam Madinah


Bismillahirrahmanirrahim
1.      Ini adalah naskah perjanjian dari Muhammad. Nabi dan Rasul Allah,  mewakili pihak kaum muslimin yang terdiri dari warga Quraisy serta Yatsrib serta para pengikutnya yaitu mereka yang beriman dan ikut serta berjuang bersama mereka.
2.      Kaum muslimin adalah umat, yang bersatu utuh, mereka hidup berdampingan dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lain.
3.      Kelompok Muhajirin yang berasal dari warga Quraisy, dengan tetap memegang teguh prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar denda yang perlu dibayarnya. Mereka membayar dengan baik tebusan bagi pembebasan anggota yang ditawan.
4.      Bani 'Auf dengan tetap memegang teguh prinsip aqidah, mereka membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok dengan baik, adil membayar tebusan bagi pembebasan yang ditawan.
5.      Bani al-Haris (dari warga al-Khazraj) dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu-membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan pembebasan warganya yang ditawan.
6.      Bani sa'idrah dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahumembahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar denda dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang tertawan.
7.      Bani Jusyam dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahumembahu membayar denda pertama merekra. Setiap kelompok dengan baik dan adil menbayar bagi pembebasan warganya yang tertawan.
8.      Bani An-Najjar dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu-membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warga yang tertawan.
9.      Bani 'Amr bin 'Auf dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu- membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang tertawan.
10.   Bani An-Nabit dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu- membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang tertawan.
11.  Bani Al-Aus dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu- membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang tertawan.
12.  Kaum muslimin tidak membiarkan seseorang muslim dibebani dengan     utang atau beban keluarga. Mereka memberi bantuan   dengan   baik  untuk keperluan membayar tebusan atau denda.  b) Seorang muslim tidak akan bertindak tidak senonoh terhadap sekuru (tuan atau hamba sahaya) muslim lain.
13.  Kaum muslimin yang taat (bertaqwa) memiliki wewenang sepenuhnya untuk mengambil tindakan terhadap seorang muslim yang menyimpang dari kebenaran atau berusaha menyebarkan dosa, permusuhan dan kerusakan di kalangan kaum muslimin. Kaum muslimin berwenang untuk bertindak terhadap yang bersangkutan sungguhpun ia anak muslim sendiri.
14.  Seorang Muslim tidak diperbolehkan membunuh orang Muslim lain untuk kepentingan orang kafir dengan merugikan orang Muslim.
15.  Jaminan (perlindungan) Allah hanya satu. Allah berada di pihak yang lemah dalam menghadapi yang kuat. Seorang muslim, dalam pergaulannya dengan pihak lain adalah pelindung bagi Muslim yang lain.
16.  Kaum Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh pertolongan dan hak persamaan serta akan terhindar dari perbuatan aniaya dan perbuatan makar yang merugikan.
17.  Perdamaian bagi kaum muslimin adalah satu. Seorang muslim tidak akan mengadakan perdamaian dengan pihak luar muslim dalam perjuangannya menegakkan agama Allah kecuali atas dasar persamaan dan keadilan.
18.  Keikut sertaan wanita dalam berperang dengan kami dilakukan secara bergiliran.
19.  Seorang Muslim, dalam rangka menegakkan agama Allah, menjadi pelindung bagi muslim yang lain disaat menghadapi hal-hal yang mengancam keselamatan jiwanya.
20.  Kaum muslimin yang taat berada dalam petunjuk yang paling baik dan benar.  Seorang musyrik tidak boleh melindungi harta dan jiwa orang Quraisy dan tidak diperbolehkan mencegahnya untuk berbuat sesuatu yang merugikan seorang Muslim.
21.  Seorang yang ternyata berdasarkan bukti-bukti yang jelas membunuh seorang muslim, wajib dikisas (dibunuh), kecuali bila wali terbunuh memaafkannya. Dan semua kaum muslimin mengindahkan pendapat wali terbunuh. Mereka tidak diperkenankan mengambil keputusan kecuali dengan mengindahkan pendapatnya.
22.  Setiap Muslim yang telah mengatui perjaniian yang tercantum dalam naskah perjanjian ini dan ia beriman kepada Allah dan hari akhirat, tidak diperkenankan membela atau melindungi pelaku kejahatan (kriminal) dan barang siapa yang membela atau melindungi orang tersebut. maka ia akan mendapat laknat dan murka Allah pada hari akhirat. Mereka tidak akan mendapat, pertolongan dan tebusannya tidak dianggap sah.
23.  Bila kami sekalian berbeda pendapat dalam sesuatu hal, hendaknya perkaranya diserahkan kepada (ketentuan) Allah dan Muhammad.
24.  Kedua pihak: kaum muslimin dan Yahudi bekerjasama dalam menanggung pembiayaan dikala mereka melakukan perang bersama.
25.  Sebagai satu kelompok, Yahudi Bani 'Auf hidup berdampingan dengan muslimin. Kedua pihak memiliki agama masing-masing. Demikian pula halnya dengan sekutu dan diri masing-masing. Bila di antara mereka ada yang melakukan aniaya dan dosa dalam hubungan ini, maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya sendiri.
26.  Bagi kaum Yahudi Bani An-Najjar berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi Bani 'Auf.
27.  Bagi kaum Yahudi Bani al-Harits berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi Bani 'Auf.
28.  Bagi kaum Yahudi Bani Sa'idah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi Bani 'Auf.
29.  Bagi kaum Yahudi Bani Jusyam berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku kaum Yahudi Bani 'Auf.
30.  Bagi kaum Yahudi Bani Al-'Aus berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi Bani 'Auf.
31.  Bagi kaum Yahudi Bani Tsa'labah berlaku, ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi Bani 'Auf. Barang siapa yang melakukan aniaya atau dosa dalam hubungan ini, maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya sendiri.
32.   Bagi warga Jafnah, sebagai anggota warga Bani Tsa'labah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku Bani Tsa'labah.
33.  Bagi Bani Syuthaibah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi Bani 'Auf. Dan bahwa kebajikan itu berbeda dengan perbuatan dosa.
34.  Sekutu (hamba sahaya) Bani Tsa'labah tidak berbeda dengan Bani Tsa'labah itu sendiri.
35.  Kelompok-kelompok keturunan Yahudi tidak berbeda dengan Yahudi itu sendiri.
36.  Tidak dibenarkan seseorang menyatakan keluar dari kelompoknya kecuali mendapat izin dari Muhammad. Tidak diperbolehkan melukai (memhalas) orang lain yang melebihi kadar perbuatan jahat yang telah diperbuatnya. Barang siapa yang membunuh orang lain sama dengan membunuh diri dan keluarganya sendiri, terkecuali bila orang itu melakukan aniaya. Sesungguhnya Allah memperhatikan ketentuan yang paling baik dalam hal ini.
37.  Kaum Yahudi dan kaum muslimin membiayai pihaknya masing-masing. Kedua belah pihak akan membela satu dengan yang lain dalam menghadapi pihak yang memerangi kelompok-kelompok masyarakat yang menyetujui piagam perjanjian ini. Kedua belah pihak juga saling memberikan saran dan nasihat dalam kebaikan, tidak dalam perbuatan dosa.
38.  Seseorang tidak dipandang berdosa karena sekutunya. Dan orang yang teraniaya akan mendapat pembelaan.
39.  Daerah-daerah Yatsrib terlarang perlu dilindungi dari setiap ancaman untuk kepentingan penduduknya.
40.  Tetangga itu seperti halnya diri sendiri, selama tidak merugikan dan tidak berbuat dosa.
41.  Sesuatu kehormatan tidak dilindungi kecuali atas izin yang berhak atas kehormatan itu.
42.  Sesuatu peristiwa atau perselisihan yang terjadi antara pihah-pihak yang menyetujui piagam ini dan dikhawatirkan akan membahayakan kehidupan bersama harus diselesaikan atas ajaran Allah dan Muhammad sebagai memberikan perlindungan dan kebajikan.
43.  Dalam hubungan ini warga yang berasal dari Quraisy dan warga lain yang mendukangnya tidak akan mendapat pembelaan.
44.  Semua warga akan saling bahu-membahu dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan terhadap Yatsrib.
45.  Bila mereka (penyerang) diajak untuk berdamai dan memenuhi ajakan itu, serta melaksanahan perdamaian tersebut, maka perdamaian tersebut dianggap sah. Bila mereka mengajah berdamai seperti itu maka kaum muslimin wajib memenuhi ajakan serta melaksanakan perdamaian tersebut, selama serangan yang dilakukan tidak menyangkut masalah agama.
Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai dengan fungsi dan tugasnya.
46.  Kaum Yahudi Aus, sekutu (hamba sahaya) dan dirinya masing-masing memiliki hak sebagaimana kelompok-kelompok lainnya yang menyetujui perjanjian ini, jangan perlakuan yang baik dan sesuai dengan semestinya dari kelompok-kelompok tersebut. Sesungguhnya kebajikan itu berbeda dengan perbuatan dosa. Setiap orang harus bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang dilakukan. Dan Allah memperhatikan isi perjanjian yang paling murni dan baik.
47.  Surat Perjaniian tidak mencegah (membela) orang yang berbuat aniaya dan dosa. Setiap orang dijamin keamanannya, baik sedang berada di Madinah maupun sedang berada di luar Madinah, kecuali orang yang berbuat aniaya dan dosa. Allah pelindung orang yang berbuat kebajikan dan menghindari keburukan.

Senin, 13 Februari 2012

Valentine Day



Perayaan ini memiliki sejarah beberapa versi. Namun saya mengutip versi yang diungkapkan oleh kalangan yang beragama mirip dengan ketika peristiwa ini berlangsung. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan orang yang ada di luar pagar dan bertindak sebagai pengamat mereka akan sibuk mengkritisi peristiwa tersebut yang pada akhirnya akan menjustifikasi yang berarah pada dua warna saja; "hitam-putih".
Pada zaman modern ini, hari Valentine didominasi oleh hati berwarna pink dan yang dipanah oleh Cupid (dewa Amor/dewa Cinta). Padahal asal-usul perayaan ini justru sangat berbeda jauh dengan simbol-simbol cinta ini.  Valentine sebenarnya adalah seorang biarawan Katolik yang menjadi martir. Valentine dihukum mati oleh kaisar Claudius II karena menentang peraturan yang melarang pemuda Romawi menjalin hubungan cinta dan menikah karena mereka akan dikirim ke medan perang.
Ketika itu, kejayaan kekaisaran Romawi tengah berada di tengah ancaman keruntuhannya akibat kemerosotan aparatnya dan pemberontakan rakyat sipilnya. Di perbatasan wilayahnya yang masih liar, berbagai ancaman muncul dari bangsa Gaul, Hun, Slavia, Mongolia dan Turki. Mereka mengancam wilayah Eropa Utara dan Asia. Ternyata wilayah kekaisaran yang begitu luas dan meluas lewat penaklukan ini sudah memakan banyak korban, baik dari rakyat negeri jajahan maupun bangsa Romawi sendiri. Belakangan mereka tidak mampu lagi mengontrol dan mengurus wilayah yang luas ini.
Untuk mempertahankan kekaisarannya, Claudius II tak henti merekrut kaum pria Romawi yang diangap masih mampu bertempur, sebagai tentara yang siap diberangkatkan ke medan perang. Sang kaisar melihat tentara yang mempunyai ikatan kasih dan pernikahan bukanlah tentara yang bagus. Ikatan kasih dan batin dengan keluarga dan orang-orang yang dicintai hanya akan melembekkan daya tempur mereka. Oleh karena itu, ia melarang kaum pria Romawi menjalin hubungan cinta, bertunangan atau menikah.
Valentine, sang biarawan muda melihat derita mereka yang dirundung trauma cinta tak sampai ini. Diam-diam mereka berkumpul dan memperoleh siraman rohani dari Valentine. Sang biarawan bahkan memberi mereka sakramen pernikahan. Akhirnya aksi ini tercium oleh Kaisar. Valentine dipenjara. Oleh karena ia menentang aturan kaisar dan menolak mengakui dewa-dewa Romawi, dia dijatuhi hukuman mati.
Di penjara, dia bersahabat dengan seorang petugas penjara bernama Asterius. Petugas penjaga penjara ini memiliki seorang putri yang menderita kebutaan sejak lahir. Namanya Julia. Valentine berusaha mengobati kebutaannya. Sambil mengobati, Valentine mengajari sejarah dan agama. Dia menjelaskan dunia semesta sehingga Julia dapat merasakan makna dan kebijaksanannya lewat pelajaran itu. Julia bertanya, "Apakah Tuhan sungguh mendengar doa kita?"  "Ya anakku. Dia mendengar setiap doa kita." Apakah kau tahu apa yang aku doakan setiap pagi? Aku berdoa supaya aku dapat melihat. Aku ingin melihat dunia seperti yang sudah kau ajarkan kepadaku." "Tuhan melakukan apa yang terbaik untuk kita, jika kita percaya pada-Nya,"sambung Valentine. "Oh, tentu. Aku sangat mempercayai-Nya," kata Julia mantap.  Lalu, mereka bersama-sama berlutut dan memanjatkan doa.
Beberapa minggu kemudian, Julia masih belum mengalami kesembuhan. Hingga tiba saat hukuman mati untuk Valentine. Valentine tidak sempat mengucapkan perpisahan dengan Julia, namun ia menuliskan ucapan dengan pesan untuk semakin dekat kepada Tuhan. Tak lupa ditambahi kata-kata,"Dengan cinta dari Valentin-mu" (yang akhirnya menjadi ungkapan yang mendunia). Ia meninggal 14 Februari 269. Valentine dimakamkan di Gereja Praksedes Roma.
Keesokan harinya , Julia menerima surat ini. Saat membuka surat, ia dapat melihat huruf dan warna-warni yang baru pertama kali dilihatnya. Julia sembuh dari kebutaannya.
Pada tahun 496, Paus Gelasius I menyatakan 14 Februari sebagai hari peringatan St. Valentine. Kebetulan tanggal kematian Valentine bertepatan dengan perayaan Lupercalia, suatu perayaan orang Romawi untuk menghormati dewa Kesuburan Februata Juno. Dalam perayaan ini, orang Romawi melakukan undian seksual! Caranya, merka memasukkan nama ke dalam satu wadah, lalu mengambil secara acak nama lawan jenisnya. Nama yang didapat itu menjadi pasangan hidupnya selama satu tahun. Lalu pada perayaan berikutnya mereka membuang undi lagi.
Rupanya Paus tidak sreg pada cara perayaan ini. Karena itulah, gereja sedikit memodifikasi perayaan ini. Mereka memasukkan nama-nama santo dalam kotak itu. Selama setahun setiap orang akan meneladani santo yang tertulis pada undian yang diambilnya. Untuk membuat acara itu sedikit lucu, gereja juga memasukkan nama Simeon Stylites. Orang yang mengambil nama ini dianggap apes alias tidak mujur, soalnya Simeon menghabiskan hidupnya di atas pillar, tidak beranjak satu kali pun.
Nama Valentine lalu diabadikan dalam festival tahunan ini. Di festival ini, pasangan kekasih atau suami istri Romawi mengungkapkan perasaan kasih dan cintanya dalam pesan dan surat bertuliskan tangan. Di daratan Eropa tradisi ini berkembang dengan menuliskan kata-kata cinta dan dalam bentuk kartu berhiaskan hati dan dewa Cupid kepada siapapun yang dicintai. Atau memberi perhatian kecil dengan bunga, coklat dan permen.
Di zaman modern, kebiasaan menulis surat dengan tangan diangap tidak praktis. Lagipula, tidak setiap orang bisa merangkaikan kata-kata yang romantis. Lalu muncullah kartu valentine yang dianggap lebih praktis. Kartu Valentine modern pertama dikirim oleh Charles seorang bangsawan Orleans kepada istrinya, tahun 1415. Ketika itu dia mendekam di penjara di Menara London. Kartu ini masih dipameran di British Museum. Di Amerika,Esther Howland adalah orang pertama yang mengirimkan kartu valentine. Kartu valentine secara komersial pertama kali dibuat tahun 1800-an.
Sayangnya dari hari ke hari, perayan Valentine telah kehilangan makna yang sejati. Semangat kasih dn pengorbanan St. Valentine telah dikalahkan oleh nafsu komesialisasi perayaan ini. Untuk itulah kita perlu mengembalikan makna perayaan ini, seperti dalam 1 Yohanes 4:16: "Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia"
Sebagai remaja yang mengaku beridentitas muslim, mari jadikan sejarah ini sebagai asbab wurud  dari kejadian tersebut. Hal ini penting karena dengan sejarah kita dapat mengambil kesimpulan atau hipotesa dan langkah dalam rangka bersikap lebih arif dan bijaksana. Bukan waktunya lagi kita mengolok-olok mereka yang merayakan Valentine Day dengan model apapun. Karena introspeksi dan mawas diri merupakan perbuatan yang lebih mulia daripada adu argument. Ingat di dunia ini hanya ada dua hipotesa bahkan kesimpulan “Sesuatu itu tidak ada yang salah, yang ada hanyalah perkara yang benar dan paling benar”.
Dikutip dari http://www.sungaibaru.com/artikel/lihatArtikel.php?id=30, dengan disertai sedikit modifikasi blogger

Kamis, 09 Februari 2012

Kebebasan Yang Didambakan


Dalam kehidupan dan tradisi beragama dikenal adanya madzhab. Redaksi ini secara etimologi berasal dari kata dzahaba yang berarti pergi dan memilih. Sedangkan kata madzhab merupakan bentuk (sighat) yang mewakili isim zaman dan isim makan. Jadi madzhab bisa diartikan tempat bepergian atau waktunya bepergian. Sedangkan secara terminology redaksi ini memiliki definisi sebuah metode yang ditelorkan oleh ahli khusunya fikih dalam beristinbat atau penggalian hokum dalam agama atau dalam domain yang lain. Hal ini dikarenakan bahwa madzhab bukan hanya dimonopoli atau istilah yang dimiliki dalam Islam saja. Namun dalam banyak hal juga ada dikotomi yang berending pada sebuah madzhab (pilihan) yang memiliki karakter tertentu, baik secara redaksional maupun secara praksisnya.
Salah satu yang menjadi ciri madzhab adalah adanya kekhasan atau seseuatu yang dipandang membedakan dengan yang selainnya. Misalnya dalam madzhab Syafii memiliki sesuatu yang berbeda sekaligus menjadi katakteristik dari madzhab Hanbali. Begitu seterusnya. Kata madzhab terkadang diidentikkan dengan sekte. Padahal secara gramatikal keduanya berbeda dari satu sisi dan sama dari satu sisi yang lain.
Di Indonesia sendiri selain menjamin kebebasan beragama juga menjamin kebebasan untuk berkumpul dan berorganisasi. Sehingga sebenarnya di Indonesia sendiri banyak agama yang muncul berikut madzhab serta sekte-sektenya. Setidaknya ada lima agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah Indonesia. Namun pada kepemimpinan mendiang Gus Dur Konghuchu juga diresmikan menjadi agam yang resmi diakui oleh negara. Padahal jika mau petan dan teliti ternyata masih ada agama-agama yang berkembang dan dianut oleh bangsa Indonesia. Agama ini ada yang berbentuk sederhana dan ada pula yang sudah dimodifikasi. Dikatakan sederhana karena agama tersebut masih berparadigma dan melakukan ritual yang sangat sederhana dan terkesan kolot. Namun pada sisi yang lain itu adalah wujud dari hokum alam yang telah dijalankan Tuhan.
Di Indonesia kita mengenal dan mengetahui banyak macam ormas keagamaan; seperti NU, Muhammadiyah, Persis, LDII, Santri Loka, dan yang lainnya. Organisasi-organisasi ini muncul dikarenakan adanya claim confident atau klaim kepercayaan diri dari masing-masing bahwa mereka dan pemikirannya merupakan sesuatu yang ditunggu dan dapat dijadikan sebagai solusi umat. Dari sisi dalam mereka juga menggunakan sumber pokok Islam sebagai landasan berfikir mereka. Oleh karenanya apa yang mereka gagas dan mereka lakukan pada dasarnya telah juga menggunakan dasar-dasar yang benar dan jelas. Namun terkadang perdebatan, gesekan dan bahkan  musyakalah tidak terelakkan antar ormas itu. Kebiasaan yang terjadi pimpinan dari sebuah ormas tidak merasa gerah atas pendapat ormas lain, namun anak buah dan grass root mereka yang justru menghakimi dengan sebuah klaim.
Penghakiman ini merupakan tindakan yang profokatif. Karena penghakiman ini bisa berakibat memperbesar jurang perbedaan, klaim kafir (takfir) dan dampak negative yang lain. Hal ini pernah dialami oleh koordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) yang dihalalkan darahnya oleh gembong dari ormas yang lain. Klaim kafir ini dikarenakan organisasi ini telah melakukan liberalisasi penalaran teks suci yang harusnya hal ini tidak boleh terjadi bahkan haram. Penafsiran dan argument JIL dinilai keluar dari rel Islam sehingga mereka dihukumi kafir dan orang kafir menurut mereka halal darahnya.
Jika mau jujur antara dzikr dan fikr sama-sama mendapatkan apresiasi dan dorongan dari Islam. Dorongan ini pada dasarnya berimbang diantara keduanya. Hal ini terbukti dengan banyaknya redaksi Quran yang menuntun manusia untuk berfikir dan berdzikir. Justru hal ini akan aneh dan tidak logis; ketika seseorang berdzikir sangat dipuja-puja. Sedangkan di sisi lain ketika orang berfikir dan menelorkan ide baru justru dikafirkan dan dipojokkan. Hal ini mestinya tidak perlu terjadi karena pada dasarnya kebebasan berfikir dan berekspresi selama itu positif haruslah diapresiasi sebagai penemuan yang boleh dibilang baru. Di sisi lain hal ini justru memperkaya khazanah pemikiran dalam Islam sendiri.
Namun semua telah terjadi, saya berharap kepada sekte dan kelompok yang melakukan takfir segeralah bertaubat. Biarkan kami dan mereka melakukan rasionalisasi pada sebagian kecil perihal agama. Saya meyakini agama adalah sebuah hal yang mati dan paten. Namun agama tidak cukup untuk diimani saja, aktualisasi dan rasionalisasi untuk saat sekarang adalah dua hal yang mutlak diperlukan.

والله أعلم بالصواب

Risalah al-Imamah


Sebelum masuk kepada pembahasan secara normative perihal kepemimpinan dalam Islam, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui definisinya baik secara etimologi ataupun terminologi. Kepemimpinan merupakan kata yang memiliki infinitive kata “pimpin”;yang berarti menerangkan cara memimpin atau perihal pemimpin. Kata ini di dalam bahasa Arab sepadan dengan kata imamah. Secara etimologi kata imamah merupakan derifasi (turunan) dari kata amma-yaummu-imaman; yang bermakna menyengaja sebagaimana diungkapkan Ibnu Mandzur. Sedangkan imam al-Jauhari berpendapat bahwa kata imam secara etimologi merupakan derifasi dari kata ummu; yang berarti ibu. Sehingga imam memiliki definisi orang yang diikuti oleh orang lain; atau jika dalam konteks perang merupakan seseorang yang membawahi anak buahnya (junud; tentara). Dari definisi ini maka dapat disimpulkan bahwa kata imam jika dirangkai dengan kata apapun pasti akan berimplikasi pada sebuah gelar atau posisi tinggi dalam bidang tertentu.
Sedangkan imamah secara terminologi memiliki definisi posisi tertinggi dalam sebuah komunitas, yang memiliki konsekwensi sebagai penanggung jawab dalam kemaslahatan komunitas tersebut. Dari definisi di atas maka banyak kalangan; fuqaha khusunya, mensyaratkan sifat dzukuriyyah (laki-laki/male) sebagai pemimpin disamping syarat-syarat yang lain. Sifat dzukuriyyah ini merupakan hasil interpretasi dari hadis Rasul SAW “lan yufliha qaumun wallau amrahum imraatan” yang mereka fahami secara literal. Selain bertendensi pada hadis tersebut ada pula kalangan yang bertendensi pada QS. al-Nisa ayat 34.
Namun demikian adapula kalangan yang memperbolehkan perempuan untuk berkecimpung dalam hal kepemimpinan ini. Pendapat ini diungkapkan oleh sebagian ulama yang bermadzhab Hanafiyyah. Mereka berargumen bahwa perempuan juga termasuk ahli syahadah (persaksian), seperti halnya laki-laki maka mereka punya hak yang sama dalam bidang wilayah (kepemimpinan). Namun kalangan ini  menganggap tidak absah apabila perempuan memberikan keputusan dalam qishash dan hudud. Mereka berargumen, bahwa dalam hal ini perempuan memiliki sifat lemah yang lebih dominan bila dibanding dengan laki-laki. Karena pada ranah qishash dan hudud merupakan ranah yang rentan dengan perdebatan.
Sementara itu, kalangan modernis; khususnya feminis memandang pelarangan perempuan untuk ikut andil dalam panggung perpolitikan lebih dikarenakan adanya bias gender. Bias gender adalah prasangka yang dibuat tanpa pengetahuan yang memadai atau bukti-bukti yang kuat, terhadap seseorang atau sekelompok masyarakat yang didasarkan pada peran dan posisi gender laki-laki dan perempuan.
Bias ini sangat berkaitan dengan keyakinan adanya pemisahan antara ruang publik dan ruang privat. Ruang publik adalah tempat dan milik laki-laki, baik secara sosial-politik maupun ekonomi. Ruang privat adalah ranah perempuan, tempat mereka hadir dan beraktivitas. Adapun yang biasa dianggap bagian dari ruang pertama; misalnya, lembaga-lembaga publik, partai politik, parlemen, dan sejenisnya. Sementara, keluarga, merawat suami dan membesarkan serta mendidik anak, aktivitas rumah tangga sering diasumsikan sebagai bagian dari ruang kedua.
Pembagian ini menyebabkan, masalah kesetaraan dan keadilan tidak menjadi perhatian. Atas dasar itu, tidak mengherankan juga apabila parlemen dan jabatan kepresidenan selama ini dianggap sebagai ranahnya kaum laki-laki. Jika ada perempuan yang coba-coba masuk ke dalamnya, niscaya ia akan ditanyai hal-hal yang tidak berkaitan dengan kapasitas dan keahliannya. Sebaliknya, sudah seperti taken for granted saja bahwa laki-laki bisa dengan tenang menempati posisi sebagai anggota parlemen atau presiden tanpa harus dipermasalahkan kapasitas dan keahliannya. Memang banyak faktor mengapa bias gender tersebut ada dan dilestarikan dalam masyarakat kita. Patrialkhi penyebabnya, begitu kiranya komentar kalangan feminis radikal. Dengan kata lain ilmu politik yang bernotabene sebagai salah satu turunan dari ilmu-ilmu sosial, langsung maupun tidak, memberikan kontribusi dalam lahir dan berkembangnya bias gender dalam dunia akademisi khususnya, dan masyarakat pada umumnya.
Menurut Rousseau, perempuan memang secara alamiah tidak pas untuk masuk dalam kepemimpinan publik. Pada titik ini terlihat ada kecenderungan misogini (sikap tidak menyukai perempuan) dalam diri para pemikir besar tersebut. Dalam lingkup yang sempit; Indonesia misalnya betapa Megawati dikritik dan dikecam pada saat ia mencalonkan diri sebagai presiden. Kritikan atau kecaman tersebut ditujukan pada dirinya semata-mata karena ia seorang perempuan. Politik dan metodologi politik yang konvensional juga memandang rendah atau bahkan mengabaikan akibat dari hubungan, keyakinan, dan ketidaksetaraan gender dalam masyarakat. Namun, sejauh ini sebagian besar teori-teori politik kontemporer, menyepakati apa yang disebut sebagai “dataran egalitarian” sebagaimana dalam nilai-nilai yang dibawa oleh Islam. 
Akan tetapi, pada kenyataannya sampai kini sebagian besar filsafat politik arus utama masih mempertahankan, atau setidak-tidaknya menerima, adanya diskriminasi gender. Banyak kalangan feminis yang menganggap bahwa prinsip-prinsip dalam ilmu politik atau filsafat politik telah dibangun dan dikembangkan berdasarkan kepentingan dan pengalaman kaum laki-laki, yang sudah pasti tidak dapat secara memadai mengenali kebutuhan-kebutuhan perempuan, atau menjadikan pengalaman kaum perempuan bagian darinya. Menurut kalangan feminis hal ini sebagian besar disebabkan keyakinan kultural, dan menerima begitu saja peran gender yang tradisional yang terkesan memojokkan kaum perempuan.