Banyak kalangan yang memiliki kesan negatif apabila
mereka mendengar kata liberal yang dirangkai dengan kata Islam. Mereka lantas
berfikir bagaimana mungkin sebuah entitas yang diagungkan nan sakral (baca: Islam)
diliberalisikan layaknya sesuatu yang profan dan remeh. Intensitas alergi ini
akan bertambah jika mereka mendengar liberalisasi ini difasilitasi dan
dikoordinir dalam sebuah institusi meskipun masih berupa jaringan (baca: JIL). Adian
Husaini memberikan definisi tentang liberalisasi agama sebagai sebuah cara baca
dan pemahaman atas sebuah agama yang ditempatkan dalam dinamika sejarah. Dari
definisi ini didapati bahwa agama merupakan sebuah organisme yang hidup seiring
perkembangan sejarah dan peradaban manusia.
Ungkapan Adian Husaini sebagaimana di atas merupakan
definisi yang dihasilkannya dari kajian dan penelitian yang dilakukan atas
fenomena keberagamaan dan keagamaan yang kini marak menggejala dan menyenggol
beberapa agama yang ada. Senggolan atas agama yang ditelitinya ini ternyata
tidak hanya meng-hack faktor eksoteris namun telah merambah pada
esoterisnya juga. Dari kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa liberalisasi
atas agama merupakan langkah pemikiran yang sesat dan tidak dapat dibenarkan.
Dari tesis di atas lantas bagaimana posisi para
liberalis muslim? Mereka (baca: liberalis muslim) berargumen bahwa liberalisasi
atas Islam sesungguhnya lebih kepada penalaran dari sebuah entitas Islam.
Rasionalisasi ini dipandang perlu agar ajaran Islam; sebagai sebuah sistem
sosial yang diturunkan pada 14 abad silam selalu memiliki relevansi tanpa
terbatas dimensi yang ada (shâlih li kulli zamân wa al-makân). Namun
agaknya langkah rasionalisasi dari Islam ini kurang banyak diapresiasi oleh
kalangan konservatif dan literalis. Kedua kalangan ini mewakili kelompok yang
lebih mengedepankan bahwa Islam adalah sebuah doktrin yang kâmil dan syâmil
sehingga apa pun masalahnya “praktik” Islam ala Rasul Muhammad SAW telah cukup
sebagai solusi.
Kaum liberalis Indonesia yang dalam ini diwakili
oleh Ulil Abshar Abdalla justru mengklaim bahwa mengembalikan segala hal pada
praktek sunnah di Madinah merupakan implementasi dari lemahnya akal
untuk berijtihad. Lebih lanjut Ia mengungkapkan bahwa praktik di Madinah
merupakan praktek Islam yang berstatus satu diantara wajah Islam yang ada di
dunia ini (one among others). Tentunya Islam akan menampkkan
wajah lain ketika berada di India, Pakistan, Indonesia dan di tempat yang lain.
Ungkapan koordinator JIL tersebut memiliki simpulan bahwa Islam not only
doctrine but also culture.
Pemikiran rasional ini tentunya bukan pemikiran yang
harus serta-merta diamini dan diadopsi begitu saja. Pemikiran ini akan menemui
relevansinya jika ditempelkan pada aktifitas muamalah dan bukan pada lahan ubudiyyah.
Karena dalam agama pada dasarnya ada hal-hal yang diterima begitu saja dengan
tanpa ijtihad dan ada pula sisi yang mengharuskan untuk berijtihad. Dalam ranah
ubudiyyah semisal ibadah mahdhah dicukupkan dengan melakukan taqlîd
mutlak pada qudwah hasanah yaitu Muhammad SAW. Sedangkan muamalah
dalam teknis dan praktisnya inilah maka rasionalisasi dan penalaran mutlak
diperlukan. Dengan demikian maka sesungguhnya yang terjadi adalah Islamisasi
dan bukan Arabisasi.
Dalam pandangan JIL-pun sesungguhnya mereka tidak
menyentuh sama sekali ranah peribadatan. Persoalan yang debatable ala
mereka berputar pada ranah jilbab, hukuman potong tangan, rajam dan semisalnya
yang pada akhirnya bermuara pada maqashid al-syari’ah. Hal ini
dikarenakan bahwa praktik muamalah merupakan sebuah engineering dari
teks ilahi yang diverbalkan dalam Alquran dan hadis. Sehingga apa yang digagas
oleh kalangan salaf shalih khususnya imam madzhab sebagaimana dalam kutub
al-mudawwanah mereka adalah murni praktik-praktik yang didasarkan pada
fikih Rasul baik ketika di Makkah dan Madinah atau di lingkungan jazirah Arab.
Lantas apakah kita yang di Indonesia dengan kultur
yang berbeda akan melakukan hal yang sama? Jawabnya adalah tidak. Hal ini bukan
karena keengganan umat muslim Indonesia untuk menerapkan fikih Rasul SAW ketika
di sana, namun adanya perbedaan itulah yang membuat berbeda. Satu contoh nyata
adalah adanya qaul qadîm dan jadîd-yang digagas oleh Imam
Syafi’i. Imam Syafii menerapakan hal yang berbeda ketika menghadapi masyarakat
dan situasi yang berbeda. Jadi sebenarnya di Indonesia-pun sangat dimungkinkan
untuk memiliki bangun rancang fikih ke-Indonesia-an dan tidak harus mengekor
pada produk timur tengah dikarenakan perbedaan yang dimiliki.
Wa Allahu A’lam
0 komentar:
Posting Komentar