Kiyai sebuah sebuah idiom merujuk pada entitas yang sarat memiliki
keistimewaan. Di Indonesia khususnya
daerah Yogyakarta kata dirujukkan pada sebuah bedug, kerbau bule, bahkan alat-alat
pusaka koleksi kesultanan tersebut. Sedangkan dalam tradisi NU kata Kiyai ini
dirujukkan pada sosok yang diklaim memiliki otoritas sebagai pewaris otoritas seorang Nabi. Posisi strategis
inilah yang kadang dalam beberapa keadaan sedikit memberi angin segar untuk
memuluskan proyek dan kepentingannya. Keadaan ini sebenarnya tidak bisa di-“gebyah
uyah podo asine” karena masih adanya pengecualian. Masih banyak sosok Kiyai
yang secara lahirnya “gak patek mbejajaji” namun dia berstatus khosh
di hadapan Allah. Orang model seperti inilah yang saat ini seperti gagak putih
dan al-kibrit al-ahmar karena minimnya kuantitasnya.
Dalam kenyataannya sosok ini kerap kali melakukan manuver yang
menurut pandangan kritikus dan orang-orang yang oposisi justru lebih karena dorongan
subjektifitas bukan sesuatu yang aneh dan dianggap nyleneh. Bahkan tidak
jarang mereka menggunakan alasan dan mengatasnamakan Tuhan demi memuluskan
tujuannya tersebut. Satu hal yang menurut saya aneh yaitu tentang banyaknya
kiyai yang melakukan poligami. Sampai-sampai seakan-akan mereka mengklaim bahwa
poligami adalah sebuah hobi. Hal ini terbukti dengan tidak sedikitnya kiyai yang
beristri lebih dari satu. Dalil mereka merujuk pada dua otoritas tertinggi yang
secara muttafaq diakui oleh semua kalangan. Namun sayangnya mereka memotong
pada tempat yang “kurang pas”. Dimulai dari fankihu dan cukup diakhiri
dengan ruba’, padahal masih ada lanjutan baik ayat ataupun kajian yang semestinya
dilakukan lebih mendalam demi kemaslahatan. Namun kemaslahatan inilah yang
sering dilupakan oleh Kiyai. Ia hanya mementingkan kemaslahatan dirinya saja
karena dirasanya telah berpayung hukum. Inilah
yang penulis sebut dengan hedonisme, karena beberapa dasar yang “katanya”
membolehkan praktik tersebut ternyata kurang proporsional dalam pelaksanaannya.
Praktik poligami dalam lingkungan dan perspektif Kiyai seakan-akan
merupakan sebuah hobi dan kesenangan semata. Padahal esensi dari poligami
adalah menolong anak yatim sebagaimana difirmankan dan terjadi dalam praktik
sang Uswah SAW. Pada tersebut orientasi menolong sesame ini masih sangat
kental dan nampak. Terbukti bahwa Rasul SAW menikahi wanita yang justru
bersifat janda. Selain itu ayat yang diklaim sebagai legislator poligami juga
menyertakan kemaslahatan anak yatim. Inilah yang sangat sering dikesampingkan
dalam praktik dalam lingkungan Kiyai. Mereka lebih cenderung memilih santrinya dengan
pertimbangan lebih mudah mendapatkannya atau siapapun wanita namun berstatus
perawan.
Jika dikembalikan pada sifat dasar manusia, tentu hal ini msih
sangat manusiawi. Secara psikologis manusia memang lebih menyukai ma
yuthabiq li al-hawa. Namun kembali
lagi bagaimana tuntunan yang telah disepakati berbicara dalam konteks poligami.
Kemungkinan aspek historis inilah yang sengaja atau tidak sengaja
dikesampingkan oleh Kiyai dalam perihal poligami. Sehingga yang mereka
kedepankan adalah kebolehannya bukan hikmahnya. Terlebih lagi mereka akan
men-cap orang aneh yang berpandangan bahwa poligami merupakan sesuatu yang
dilarang. Orang yang berpandangan seperti ini bukan tanpa tanpa dasar. Dasar mereka
adalah ayat yang menerangkan bahwa seseorang tidak mungkin berlaku adil pada
beberapa istrinya, dan hal itu tiada lain adalah harapan. Selain itu alasa yang
bersifat empiris seperti minimnya jumlah perempuan di daerah tertentu. Jika mereka
didobel oleh Kiyai, lantas yang lain bagaimana?Alasan di atas sudah sepatutnya dipertimbangkan
tidak hanya oleh Kiyai namun oleh semuanya. Karena kemaslahatan lebih
diutamakan daripada kesenangan yang nantinya akan berujung pada sebuah klaim
dan kenyataan yang tidak layak dan etis.
0 komentar:
Posting Komentar