BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Laman

Sabtu, 29 Juni 2013

Islam dalam Bingkai Nilai dan Pranata Sosial

Allah sebagaimana dilansir dalam firman-Nya menciptakan makhluk-Nya secara berpasangan yang cenderung berbentuk oposan. Misalnya siang ada malam, laki-laki dan perempuan, besar dan kecil dan masih banyak lagi yang lainnya. Ada diantara oposan-oposan tersebut yang memang di-setting dan sengaja tidak dapat dipersatukan, ada pula yang meskipun oposan justru saling melengkapi. Meskipun demikian adanya tetap saja ada pengecualian yang masih sangat mungkin terjadi.
Ilustrasi sederhana tersebut ingin penulis tarik pada terma “Islam” yang hingga dulu, kini dan bahkan nanti hingga yaum al-dîn akan selalu bestatus debatable yaitu. Perdebatan yang menggurita sekian lamanya tidak hanya berkutat pada ranah ontologis saja, namun lebih dari itu. Dalam tulisan sederhana ini tidak akan memparkan perdebatan tersebut karena jelas tidak akan syamil dan kamil. Ketidak syamil-an ini telah dilakukan dan dicontohkan oleh kalangan terdahulu (salaf shalih) melalui karya-karya yang mereka tinggalkan yang masih dapat dijumpai hingga kini. Karena sesungguhnya yang mereka ketengahkan dalam karya tersebut adalah Islam dalam perspektif dan pengalaman mereka masing-masing yang sangat parsial. Sehingga jutaan turast yang lengkap dengan penjelasan (anotasi) belum cukup untuk menjawab problem ontologis tersebut.
Dalam ranah definitif kata Islam merupakan kata yang musytaq dari kata salima. Kata salima merupakan sebuah bentuk kata kerja yang terdiri dari tiga huruf yang dalam ilmu shorof (morfologi) disebut sebagai tsulâtsî mujarrad sehingga jika dibredel kata tersebut disusun oleh huruf sin, lam dan mim. Secara leksikal kata ini dimaknai dengan kepasrahan, ketundukan dan keselamatan sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Mandzur. Sedangkan Islam ketika telah diposisikan sebagai sebuah agama wahyu yang dibawa oleh Muhammad SAW pada 14 abad silam sebagaimana yang banyak didefinisikan oleh pemikir abad pertengahan. Agama Muhammad SAW ini yang pada gilirannya membangun peradaban baik di Makkah dan Madinah. Sehingga Islam dalam konteks ini lebih kepada sebuah bentuk institusi kemasyarakatan atau Islam dalam bingkai sosiologis.
Dari definisi sebagaimana di atas setidaknya ada dua pemahaman di mana bila diantara keduanya dihadapkan sebenarnya akan saling melengkapi. Namun pada saat ini mereka yang cenderung literal mendefinisikan Islam hanya merujuk pada Islam yang dibangun Nabi Muhammad SAW. Padahal secara nilai, Islam dapat ditemui dalam semua agama baik yang diproduk samâwî ataupun ardhî.
Kedua mainset tersebut tentunya memiliki implikasi baik dalam ranah pemahaman dan praktisnya. Kalangan pertama mengklaim bahwa segala sesuatu yang tidak sama dengan ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW maka disebut kafir. Karena kafir maka akan berlaku hukum atas mereka yang cenderung memberatkan semisal halalnya darah, harta dan hak kepemilikannya. Sedangkan definisi yang kedua berimplikasi pada “longgar”nya pemahaman tentang Islam. Sehingga faham kedua ini meyimpulkan asalkan memasrahkan, mengimani entitas yang disebut dengan Tuhan maka telah Islam. Dengan demikian Islam bukan hanya dimonopoli oleh penganut agama Nabi Muhammad SAW saja, namun lebih luas lagi. Di samping itu Islam yang diterjemahkan sebagai nilai akan berlaku inklusif dengan orang yang berada di “kamar lain”. Karena mereka yang ada dalam kubu kedua ini beranggapan bahwa Islam termanifestasikan dalam perilaku yang positif dengan tetap mengedepankan keimanan meskipun secara eksoteris berbeda.
Wa Allahu A’lam.

0 komentar: