Allah sebagaimana dilansir dalam firman-Nya menciptakan makhluk-Nya
secara berpasangan yang cenderung berbentuk oposan. Misalnya siang ada malam,
laki-laki dan perempuan, besar dan kecil dan masih banyak lagi yang lainnya.
Ada diantara oposan-oposan tersebut yang memang di-setting dan sengaja
tidak dapat dipersatukan, ada pula yang meskipun oposan justru saling
melengkapi. Meskipun demikian adanya tetap saja ada pengecualian yang masih
sangat mungkin terjadi.
Ilustrasi sederhana tersebut ingin penulis tarik pada terma “Islam”
yang hingga dulu, kini dan bahkan nanti hingga yaum al-dîn akan selalu
bestatus debatable yaitu. Perdebatan yang menggurita sekian lamanya
tidak hanya berkutat pada ranah ontologis saja, namun lebih dari itu. Dalam
tulisan sederhana ini tidak akan memparkan perdebatan tersebut karena jelas
tidak akan syamil dan kamil. Ketidak syamil-an ini telah
dilakukan dan dicontohkan oleh kalangan terdahulu (salaf shalih)
melalui karya-karya yang mereka tinggalkan yang masih dapat dijumpai hingga
kini. Karena sesungguhnya yang mereka ketengahkan dalam karya tersebut adalah
Islam dalam perspektif dan pengalaman mereka masing-masing yang sangat parsial.
Sehingga jutaan turast yang lengkap dengan penjelasan (anotasi) belum
cukup untuk menjawab problem ontologis tersebut.
Dalam ranah definitif kata Islam merupakan kata yang musytaq
dari kata salima. Kata salima merupakan sebuah bentuk kata kerja yang
terdiri dari tiga huruf yang dalam ilmu shorof (morfologi) disebut
sebagai tsulâtsî mujarrad sehingga jika dibredel kata tersebut disusun
oleh huruf sin, lam dan mim. Secara leksikal kata ini
dimaknai dengan kepasrahan, ketundukan dan keselamatan sebagaimana diungkapkan
oleh Ibnu Mandzur. Sedangkan Islam ketika telah diposisikan sebagai sebuah
agama wahyu yang dibawa oleh Muhammad SAW pada 14 abad silam sebagaimana yang
banyak didefinisikan oleh pemikir abad pertengahan. Agama Muhammad SAW ini yang
pada gilirannya membangun peradaban baik di Makkah dan Madinah. Sehingga Islam
dalam konteks ini lebih kepada sebuah bentuk institusi kemasyarakatan atau
Islam dalam bingkai sosiologis.
Dari definisi sebagaimana di atas setidaknya ada dua pemahaman di
mana bila diantara keduanya dihadapkan sebenarnya akan saling melengkapi. Namun
pada saat ini mereka yang cenderung literal mendefinisikan Islam hanya merujuk
pada Islam yang dibangun Nabi Muhammad SAW. Padahal secara nilai, Islam dapat
ditemui dalam semua agama baik yang diproduk samâwî ataupun ardhî.
Kedua mainset tersebut tentunya memiliki implikasi baik dalam ranah
pemahaman dan praktisnya. Kalangan pertama mengklaim bahwa segala sesuatu yang
tidak sama dengan ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW maka disebut kafir.
Karena kafir maka akan berlaku hukum atas mereka yang cenderung memberatkan
semisal halalnya darah, harta dan hak kepemilikannya. Sedangkan definisi yang
kedua berimplikasi pada “longgar”nya pemahaman tentang Islam. Sehingga faham
kedua ini meyimpulkan asalkan memasrahkan, mengimani entitas yang disebut
dengan Tuhan maka telah Islam. Dengan demikian Islam bukan hanya dimonopoli
oleh penganut agama Nabi Muhammad SAW saja, namun lebih luas lagi. Di samping
itu Islam yang diterjemahkan sebagai nilai akan berlaku inklusif dengan orang
yang berada di “kamar lain”. Karena mereka yang ada dalam kubu kedua ini
beranggapan bahwa Islam termanifestasikan dalam perilaku yang positif dengan
tetap mengedepankan keimanan meskipun secara eksoteris berbeda.
Wa Allahu A’lam.
0 komentar:
Posting Komentar