BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS »

Laman

Rabu, 03 Juli 2013

Hedonisme Kiyai (Dalam Tinjauan Fenomenologi)

  Kiyai sebuah sebuah idiom merujuk pada entitas yang sarat memiliki keistimewaan.  Di Indonesia khususnya daerah Yogyakarta kata dirujukkan pada sebuah bedug, kerbau bule, bahkan alat-alat pusaka koleksi kesultanan tersebut. Sedangkan dalam tradisi NU kata Kiyai ini dirujukkan pada sosok yang diklaim memiliki otoritas sebagai pewaris  otoritas seorang Nabi. Posisi strategis inilah yang kadang dalam beberapa keadaan sedikit memberi angin segar untuk memuluskan proyek dan kepentingannya. Keadaan ini sebenarnya tidak bisa di-“gebyah uyah podo asine” karena masih adanya pengecualian. Masih banyak sosok Kiyai yang secara lahirnya “gak patek mbejajaji” namun dia berstatus khosh di hadapan Allah. Orang model seperti inilah yang saat ini seperti gagak putih dan al-kibrit al-ahmar karena minimnya kuantitasnya.
Dalam kenyataannya sosok ini kerap kali melakukan manuver yang menurut pandangan kritikus dan orang-orang yang oposisi justru lebih karena dorongan subjektifitas bukan sesuatu yang aneh dan dianggap nyleneh. Bahkan tidak jarang mereka menggunakan alasan dan mengatasnamakan Tuhan demi memuluskan tujuannya tersebut. Satu hal yang menurut saya aneh yaitu tentang banyaknya kiyai yang melakukan poligami. Sampai-sampai seakan-akan mereka mengklaim bahwa poligami adalah sebuah hobi. Hal ini terbukti dengan tidak sedikitnya kiyai yang beristri lebih dari satu. Dalil mereka merujuk pada dua otoritas tertinggi yang secara muttafaq diakui oleh semua kalangan. Namun sayangnya mereka memotong pada tempat yang “kurang pas”. Dimulai dari fankihu dan cukup diakhiri dengan ruba’, padahal masih ada lanjutan baik ayat ataupun kajian yang semestinya dilakukan lebih mendalam demi kemaslahatan. Namun kemaslahatan inilah yang sering dilupakan oleh Kiyai. Ia hanya mementingkan kemaslahatan dirinya saja karena dirasanya telah berpayung hukum.  Inilah yang penulis sebut dengan hedonisme, karena beberapa dasar yang “katanya” membolehkan praktik tersebut ternyata kurang proporsional dalam pelaksanaannya.
Praktik poligami dalam lingkungan dan perspektif Kiyai seakan-akan merupakan sebuah hobi dan kesenangan semata. Padahal esensi dari poligami adalah menolong anak yatim sebagaimana difirmankan dan terjadi dalam praktik sang Uswah SAW. Pada tersebut orientasi menolong sesame ini masih sangat kental dan nampak. Terbukti bahwa Rasul SAW menikahi wanita yang justru bersifat janda. Selain itu ayat yang  diklaim sebagai legislator poligami juga menyertakan kemaslahatan anak yatim. Inilah yang sangat sering dikesampingkan dalam praktik dalam lingkungan Kiyai. Mereka lebih cenderung memilih santrinya dengan pertimbangan lebih mudah mendapatkannya atau siapapun wanita namun berstatus perawan.
Jika dikembalikan pada sifat dasar manusia, tentu hal ini msih sangat manusiawi. Secara psikologis manusia memang lebih menyukai ma yuthabiq li al-hawa.  Namun kembali lagi bagaimana tuntunan yang telah disepakati berbicara dalam konteks poligami. Kemungkinan aspek historis inilah yang sengaja atau tidak sengaja dikesampingkan oleh Kiyai dalam perihal poligami. Sehingga yang mereka kedepankan adalah kebolehannya bukan hikmahnya. Terlebih lagi mereka akan men-cap orang aneh yang berpandangan bahwa poligami merupakan sesuatu yang dilarang. Orang yang berpandangan seperti ini bukan tanpa tanpa dasar. Dasar mereka adalah ayat yang menerangkan bahwa seseorang tidak mungkin berlaku adil pada beberapa istrinya, dan hal itu tiada lain adalah harapan. Selain itu alasa yang bersifat empiris seperti minimnya jumlah perempuan di daerah tertentu. Jika mereka didobel oleh Kiyai, lantas yang lain bagaimana?Alasan di atas sudah sepatutnya dipertimbangkan tidak hanya oleh Kiyai namun oleh semuanya. Karena kemaslahatan lebih diutamakan daripada kesenangan yang nantinya akan berujung pada sebuah klaim dan kenyataan yang tidak layak dan etis.  

Sabtu, 29 Juni 2013

JIL (Jaringan Islam Liberal); Posisi dan Urgensi

Banyak kalangan yang memiliki kesan negatif apabila mereka mendengar kata liberal yang dirangkai dengan kata Islam. Mereka lantas berfikir bagaimana mungkin sebuah entitas yang diagungkan nan sakral (baca: Islam) diliberalisikan layaknya sesuatu yang profan dan remeh. Intensitas alergi ini akan bertambah jika mereka mendengar liberalisasi ini difasilitasi dan dikoordinir dalam sebuah institusi meskipun masih berupa jaringan (baca: JIL). Adian Husaini memberikan definisi tentang liberalisasi agama sebagai sebuah cara baca dan pemahaman atas sebuah agama yang ditempatkan dalam dinamika sejarah. Dari definisi ini didapati bahwa agama merupakan sebuah organisme yang hidup seiring perkembangan sejarah dan peradaban manusia.
Ungkapan Adian Husaini sebagaimana di atas merupakan definisi yang dihasilkannya dari kajian dan penelitian yang dilakukan atas fenomena keberagamaan dan keagamaan yang kini marak menggejala dan menyenggol beberapa agama yang ada. Senggolan atas agama yang ditelitinya ini ternyata tidak hanya meng-hack faktor eksoteris namun telah merambah pada esoterisnya juga. Dari kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa liberalisasi atas agama merupakan langkah pemikiran yang sesat dan tidak dapat dibenarkan.
Dari tesis di atas lantas bagaimana posisi para liberalis muslim? Mereka (baca: liberalis muslim) berargumen bahwa liberalisasi atas Islam sesungguhnya lebih kepada penalaran dari sebuah entitas Islam. Rasionalisasi ini dipandang perlu agar ajaran Islam; sebagai sebuah sistem sosial yang diturunkan pada 14 abad silam selalu memiliki relevansi tanpa terbatas dimensi yang ada (shâlih li kulli zamân wa al-makân). Namun agaknya langkah rasionalisasi dari Islam ini kurang banyak diapresiasi oleh kalangan konservatif dan literalis. Kedua kalangan ini mewakili kelompok yang lebih mengedepankan bahwa Islam adalah sebuah doktrin yang kâmil dan syâmil sehingga apa pun masalahnya “praktik” Islam ala Rasul Muhammad SAW telah cukup sebagai solusi.
Kaum liberalis Indonesia yang dalam ini diwakili oleh Ulil Abshar Abdalla justru mengklaim bahwa mengembalikan segala hal pada praktek sunnah di Madinah merupakan implementasi dari lemahnya akal untuk berijtihad. Lebih lanjut Ia mengungkapkan bahwa praktik di Madinah merupakan praktek Islam yang berstatus satu diantara wajah Islam yang ada di dunia ini (one among others). Tentunya Islam akan menampkkan wajah lain ketika berada di India, Pakistan, Indonesia dan di tempat yang lain. Ungkapan koordinator JIL tersebut memiliki simpulan bahwa Islam not only doctrine but also culture.
Pemikiran rasional ini tentunya bukan pemikiran yang harus serta-merta diamini dan diadopsi begitu saja. Pemikiran ini akan menemui relevansinya jika ditempelkan pada aktifitas muamalah dan bukan pada lahan ubudiyyah. Karena dalam agama pada dasarnya ada hal-hal yang diterima begitu saja dengan tanpa ijtihad dan ada pula sisi yang mengharuskan untuk berijtihad. Dalam ranah ubudiyyah semisal ibadah mahdhah dicukupkan dengan melakukan taqlîd mutlak pada qudwah hasanah yaitu Muhammad SAW. Sedangkan muamalah dalam teknis dan praktisnya inilah maka rasionalisasi dan penalaran mutlak diperlukan. Dengan demikian maka sesungguhnya yang terjadi adalah Islamisasi dan bukan Arabisasi.
Dalam pandangan JIL-pun sesungguhnya mereka tidak menyentuh sama sekali ranah peribadatan. Persoalan yang debatable ala mereka berputar pada ranah jilbab, hukuman potong tangan, rajam dan semisalnya yang pada akhirnya bermuara pada maqashid al-syari’ah. Hal ini dikarenakan bahwa praktik muamalah merupakan sebuah engineering dari teks ilahi yang diverbalkan dalam Alquran dan hadis. Sehingga apa yang digagas oleh kalangan salaf shalih khususnya imam madzhab sebagaimana dalam kutub al-mudawwanah mereka adalah murni praktik-praktik yang didasarkan pada fikih Rasul baik ketika di Makkah dan Madinah atau di lingkungan jazirah Arab.
Lantas apakah kita yang di Indonesia dengan kultur yang berbeda akan melakukan hal yang sama? Jawabnya adalah tidak. Hal ini bukan karena keengganan umat muslim Indonesia untuk menerapkan fikih Rasul SAW ketika di sana, namun adanya perbedaan itulah yang membuat berbeda. Satu contoh nyata adalah adanya qaul qadîm dan jadîd-yang digagas oleh Imam Syafi’i. Imam Syafii menerapakan hal yang berbeda ketika menghadapi masyarakat dan situasi yang berbeda. Jadi sebenarnya di Indonesia-pun sangat dimungkinkan untuk memiliki bangun rancang fikih ke-Indonesia-an dan tidak harus mengekor pada produk timur tengah dikarenakan perbedaan yang dimiliki.
Wa Allahu A’lam

Islam dalam Bingkai Nilai dan Pranata Sosial

Allah sebagaimana dilansir dalam firman-Nya menciptakan makhluk-Nya secara berpasangan yang cenderung berbentuk oposan. Misalnya siang ada malam, laki-laki dan perempuan, besar dan kecil dan masih banyak lagi yang lainnya. Ada diantara oposan-oposan tersebut yang memang di-setting dan sengaja tidak dapat dipersatukan, ada pula yang meskipun oposan justru saling melengkapi. Meskipun demikian adanya tetap saja ada pengecualian yang masih sangat mungkin terjadi.
Ilustrasi sederhana tersebut ingin penulis tarik pada terma “Islam” yang hingga dulu, kini dan bahkan nanti hingga yaum al-dîn akan selalu bestatus debatable yaitu. Perdebatan yang menggurita sekian lamanya tidak hanya berkutat pada ranah ontologis saja, namun lebih dari itu. Dalam tulisan sederhana ini tidak akan memparkan perdebatan tersebut karena jelas tidak akan syamil dan kamil. Ketidak syamil-an ini telah dilakukan dan dicontohkan oleh kalangan terdahulu (salaf shalih) melalui karya-karya yang mereka tinggalkan yang masih dapat dijumpai hingga kini. Karena sesungguhnya yang mereka ketengahkan dalam karya tersebut adalah Islam dalam perspektif dan pengalaman mereka masing-masing yang sangat parsial. Sehingga jutaan turast yang lengkap dengan penjelasan (anotasi) belum cukup untuk menjawab problem ontologis tersebut.
Dalam ranah definitif kata Islam merupakan kata yang musytaq dari kata salima. Kata salima merupakan sebuah bentuk kata kerja yang terdiri dari tiga huruf yang dalam ilmu shorof (morfologi) disebut sebagai tsulâtsî mujarrad sehingga jika dibredel kata tersebut disusun oleh huruf sin, lam dan mim. Secara leksikal kata ini dimaknai dengan kepasrahan, ketundukan dan keselamatan sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Mandzur. Sedangkan Islam ketika telah diposisikan sebagai sebuah agama wahyu yang dibawa oleh Muhammad SAW pada 14 abad silam sebagaimana yang banyak didefinisikan oleh pemikir abad pertengahan. Agama Muhammad SAW ini yang pada gilirannya membangun peradaban baik di Makkah dan Madinah. Sehingga Islam dalam konteks ini lebih kepada sebuah bentuk institusi kemasyarakatan atau Islam dalam bingkai sosiologis.
Dari definisi sebagaimana di atas setidaknya ada dua pemahaman di mana bila diantara keduanya dihadapkan sebenarnya akan saling melengkapi. Namun pada saat ini mereka yang cenderung literal mendefinisikan Islam hanya merujuk pada Islam yang dibangun Nabi Muhammad SAW. Padahal secara nilai, Islam dapat ditemui dalam semua agama baik yang diproduk samâwî ataupun ardhî.
Kedua mainset tersebut tentunya memiliki implikasi baik dalam ranah pemahaman dan praktisnya. Kalangan pertama mengklaim bahwa segala sesuatu yang tidak sama dengan ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW maka disebut kafir. Karena kafir maka akan berlaku hukum atas mereka yang cenderung memberatkan semisal halalnya darah, harta dan hak kepemilikannya. Sedangkan definisi yang kedua berimplikasi pada “longgar”nya pemahaman tentang Islam. Sehingga faham kedua ini meyimpulkan asalkan memasrahkan, mengimani entitas yang disebut dengan Tuhan maka telah Islam. Dengan demikian Islam bukan hanya dimonopoli oleh penganut agama Nabi Muhammad SAW saja, namun lebih luas lagi. Di samping itu Islam yang diterjemahkan sebagai nilai akan berlaku inklusif dengan orang yang berada di “kamar lain”. Karena mereka yang ada dalam kubu kedua ini beranggapan bahwa Islam termanifestasikan dalam perilaku yang positif dengan tetap mengedepankan keimanan meskipun secara eksoteris berbeda.
Wa Allahu A’lam.